spot_img
Categories:

Pemikiran dan Kitab Al-Ghazali, Jadikan Kiblat bagi Pesantren dan NU

- Advertisement -

Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al-Ghazali, lahir pada tahun 450 H/ 1057 M, di Thus sebuah kota kecil, Provinsi Khurasan, Republik Iran, yang saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Belum ada yang menyatakan bahwa ayahnya (Muhammad) seorang ilmuwan, tetapi Algazel terlahir dari keluarga yang sederhana bahkan sejak kecil ditinggal oleh ayahnya (wafat).

Setelah mendapatkan pendidikan Al-Qur’an dari ayahnya, Al-Ghazali dititpkan ke salah satu temannya untuk dididik, karena dirinya menyadari bahwa tidak akan lama hidup di dunia ini. Karier intelektualnya Algazel terlihat saat berguru kepada Ahmad bin Muhammad al-Razikani, seorang sufi besar. Setelah menamatkannya di Thus, ia melanjutkannya di Naisabur untuk belajar ilmu kalam, tauhid, fiqh, logika, filsafat, dan tasawuf kepada Imam Al-Haramayn Al-Juwaini. Imam besar tersebut mampu meramal beliau bahwa kelak akan menjadi calon intelektual yang memberi kontribusi besar pada dunia Islam. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kecerdasan dan kemampuan Al-Ghazali muda sangat melampaui di bandingkan dengan teman-teman lainnya. Wajar beliau diberi gelar oleh gurunya bahr al-mughriq (bahtera yang menghanyutkan) dan zain al-din (hiasan agama).

Selanjutnya ia meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar untuk menemui Perdana Menteri Nizam Al-Muluk yang mempunyai majelis ulama. Di sana beliau memperoleh sambutan dan pernghormatan untuk berdebat dengan para ulama hingga beliau mengalahkannya. Pada tahun 1091, ia diangkat menjadi guru besar Madrasah Nizamiyah. Di usia 34 tahun, beliau diangkat menjadi pimpinan lembaga pendidikan tersebut. Namun setelah empat tahun mengabdikan diri, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan memulai pengembaraan sufistiknya demi menemukan kebenaran hakiki, seperti menyendiri, melakukan meditasi, dan menikmati kedekatan dengan Allah SWT. Secara historis, tempat uzlahnya di salah satu menara (Damaskus) yang kondisinya sepi kala itu. Akhirnya pada tahun 499 H/ 1106 M, ia mengakhiri dan kembali ke Naisabur, di sanalah Algazel mulai mengajar di Madrasah Nizamiyah. Pada akhirnya, ia kembali ke Thus (tempat kelahirannya) untuk beribadah dan mengajar Al-Qur’an dan hadits hingga akhir hayatnya.

Pemikiran dalam Mahakaryanya

Sebelum al-Ghazali wafat, ia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya menentramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai tumbuh keraguan, pertanyaan-pertanyaan baru mulai muncul. Inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya? Inikah kehidupan yang dikasihi Allah SWT? Inikah cara hidup yang diridlai Allah SWT? dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.

Bermacam-macam pertanyaan al-Ghazali yang timbul dari hati sanubarinya. Keraguan ini bisa disingkirkan dengan menempuh perjalanan sufistik yang tidak lagi mengandalkan akal semata, tetagi menggunakan kekuatan nur yang dilimpahkan kepadanya. Al-Ghazali menulis hampir 100 buah buku yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, fiqh, tasawuf, akhlak, filsafat, dan autobiografi, yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Persia. Adapun karyanya adalah Maqasid al-Falasifah (tujuan para filsof), Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof), Ihya’ ulum al-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama), al-Munqiz min al-Dlalal (penyelamat dari kesesatan), dan Miyaul Ilmi, Minhajul Abidin, Jawahirul Qur’an, Al-Mustasyfa, dan Misykatul Anwar, dan sebagainya yang tidak bisa kamu sebutkan satu persatu.

Beragam karya yang ditulis oleh Algazel menyatakan bahwa beliau seorang tokoh yang multitalent, buktinya beliau bisa dikatakan seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filosof, sufi termasyhur, dan ilmuwan yang menguasai beragam ilmu pengetahun. Namun tasawuflah yang membuat dirinya nyaman dalam mengurangi bahtera ilmu pengetahuan, hingga akhirnya ia diberi gelar hujjatul Islam (orang yang memiliki argumentasi keilmuan Islam).

Kitab dan pemikirannya sangat mempengaruhi dunia pendidikan Islam, terutama pesantren dan ulama adalah karya fenomenal yang berjudul Ihya’ Ulumuddin yang disusun secara sistematis. Dalam kitab tersebut, Al-Ghazali membagi menjadi empat juz, yaitu: (1) rubu’ul ibadah; (2) rubu’ul ‘adat atau tradisi; (3) rubu’ul muhlikat atau seperempat yang menjelekkan; dan (4) rubu’ul munjiyat atau seperempat yang menyelamatkan. Di dalam kitab tersebut, beliau mengarahkan seseorang untuk mengikuti langkah-langkah seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik) atau orang yang berjalan menuju Allah SWT secara spiritual dalam rangka membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Pada dasarnya, tasawuf akhlaki ala Al-Ghazali mengajarkan kepada umat tentang keterpaduan dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan secara integritas dan dinamis dalam perspektif kekhususan menuju universalitas dan kemajemukan menuju kesadaran sejati. Kunci untuk mencapai ihsan dan mabadi khaira ummah (insan kamil) adalah hati. Dalam artian beliau tidak menafikan akal (rasionalisme) dan indera (empirisme) sebagai sumber dan media untuk meneguhkan hati. Al-qalbu kal mir’ah, artinya hati ibarat cermin yang memantulkan sebuah gambar dan membuka hijab segala sesuatu jika manusia memahami dirinya sendiri dan kembali pada Allah SWT. Hati di sini tidak bisa dideskripsikan secara dhahir, karena hati adalah central dari segala-galanya.

Jika ditarik dalam sebuah praktik ibadah shalat lima waktu, seorang yang mendalami pemikiran tasawufnya Al-Ghazali, ia merasa kurang puas, tetapi ia menambahnya dengan shalat-shalat sunnah lainnya, dzikir dan lainnya. Berbeda di bidang pendidikan, Al-Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat yang lebih utama dan abadi. Contohnya, pemikiran Algazel membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan Progressivisme dan Esensialisme yang dipelopori oleh John Dewey dan menyatakan bahwa sentral pendidikan adalah pikiran dan kecerdasan. Pikiran dan kecerdasan ini merupakan motor penggerak dan penentu arah kemajuan sekaligus penuntun bagi subjek untuk mampu menghayati dan menjalankan program. Sedangkan aliran esensialisme menyatakan bahwa materi utamalah yang menentukan dan memantapkan pikiran serta kecerdasan manusia. Materi itulah yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang hakiki dalam sebuah perkembangan peradaban dan kebudayaan. Atas dasar klasifikasi tersebut, semakin jelas bahwa Algazel menempatkan corak kependidikannya berbeda dengan corak yang lainnya.

Berangkat dari penjelasan di atas, sistem pemikiran Al-Ghazali sangat luas, bahkan dari dulu hingga sekarang dijadikan manhajul fikr Ahlusunnah wal Jamaah an-Nahdliyah dan menempatkan tasawufnya sebagai alat pendukung dalam rangka mendidik dan membimbing aspek esoteric (batiniyah) hingga mencapai nilai-nilai ihsan atau sikap mental spiritual yang senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT dalam seluruh ruang kehidupan. Untuk mencapai tahapan itu perlu perpaduan antara syariah dan tasawuf. Tujuannya adalah untuk memperdalam penghayatan ajaran Islam dengan riyadhah dan mujahadah menurut kaifiyat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Juga mencegah ekstrimitas dan sikap berlebih-lebihan (al-ghuluw) yang dapat menjerumuskan orang pada penyelewengan akidah dan syariah.

*) Ketua LTN NU Sumenep

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...