spot_img
Categories:

Apa Kata Hujan

- Advertisement -

Cerpen: Matrony Muserang*

Pagi yang selalu kutunggu di balik malam, kurasa telah lewat dalam malam-malam yang sangat jauh, aku tidur di ranjang kesunyian, adakah tidur yang nyenyak dari merem di bantal malam?. Ada, kataku, tersentak! Mungkin mengigau, aku sering membalik-balikkan tubuhku saat tidur, karena aku sangat rindu pada matahari yang menuruni pagi, dengan sinar mentari seakan aku hidup dan mati dalam waktu yang sementara aku tidak mengerti apa waktu itu? jangan kau maki waktu itu karena akulah waktu itu, kata hatiku sambil menyeru napas panjang.

Malam telah aku lewati dengan waktu yang lambat, karena semalaman aku tidak tidur nyenyak, ada rasa yang ingin bertemu dengan sinar yang wajahnya sangat indah dan tidak menampakkan kesuraman, aku rindu sekali pada senyumnya, lalu bagaimana dengan jembatan waktu yang akan aku lintasi bersama masa yang akan membawaku ke ranjang gunung merapi, aku terseruh sesak karena aku sangat capek mendengar perkataan itu, capek katamu, ya, capek. Lalu bagaimana bisa kau dapat menghirup angin surga yang belum kau temui di dunia ini? kata Niji padaku, tidak tahu aku, bagaimana caranya.

Matahari masih menghias rona alam yang kian siang di balik kaca yang belum engkau lalui dengan bedak sapu di tangan, aku sedang duduk santai bersama waktu di setiap wajah hari-hari yang aku jalani bersama Niji, Nij, panggilku, sini, ajakku, dengan hiasan senyum manja, apa, jawab Niji, sambil jalan menuju pangilan dan duduk didekatku,

“Bagaimana kalau kita cari makanan di ranjang para pegawai negeri, sekarang di sana ada seminar sehari pasti banyak makanan yang kami buang?”

“Ayo,” jawab Niji,

Waktu itu juga kami berangkat membawa sak tempat bekas-bekas sampah yang kami ingin jual untuk makan tiap hari, kala itu langit mulai berawan dengan sangat tebal juga hitam.

“Kayaknya mau hujan Nij.”

“Gimana kalau kita berteduh,” ajak Niji sambil melihat awan tebal di atas pucuk-pucuk rumah yang kami lewati berdua.

“Kalau kita berteduh di sini kapan kita makan?” tanyaku
“Ya juga sih.”

“Tidak apa kita jalan.” lagi-lagi Niji mengajakku

“Hujan Nij.”

“Ya deras sekali gimana ini?”

“Tuhan mengapa engkau turunkan hujan saat aku lapar,” Niji berdoa dalam hati, dengan tangis yang tersimpan.

Dengan tangisan yang ia pendam dan hujan yang semakin deras, iringan petir, angin kencang, kami terus berjalan menuju tempat orang-orang berseminar, baju basah, dingin mencekam seakan tak kuat menahan dingin yang dirasakan, di bawah pohon asam kami berteduh dengan keadaan perut yang belum terisi mulai pagi, kami gemetar dengan keadaan dingin dan kelaparan yang kami tahan sampai betul-betul seakan tidak kuat lagi untuk melangkah.

“Tuhan aku benar-benar lapar, kenapa engkau belum mengusaikan hujan ini?”

Di pohon kami tetap bertahan menanti hujan reda, kira-kira 3 jam kami menanti, akhirnya hujan reda dan matahari mulai menampakkan wajah barunya, angin segar dan sinar mentari mulai terlihat, kami berdiri dengan sangat berat karena tidak kuat menahan lapar yang kami rasa.

“Nij,” panggilku.

“Ayo kita jalan lagi sebelum seminar di sana selasai.”

“Ayuk.”

Kami bergegas berjalan dengan cepat takut acara seminar sudah selesai, ayo cepat jalanya Nij, aku sudah merasakan lapar sekali, karena yang ada dalam pikirannku hanya makanan yang kami buang nanti, ayo cepat! Aku gak kuat lagi, gimana? Waktu kira-kira menunjukkan pukul 13.00, kami juga belum mendaptkan makanan, karena Niji tidak kuat lagi berjalan dengan cepat akhirnya dengan santai kami juga sampai ke tempat tujuan, sesampainya di sana ternyata sudah sepi dan sisa makanan yang harapakan sudah di sapu.

Kami bedua diam, diam, dan diam saja di trotoar dekat gedung yang ditempati seminar tadi.

“Nij, jangan bersedih ya,” bujukku.

“Kita mesti sabar menjalani hidup seperti ini, mungkin dengan seperti ini kita akan menemukan kebahagiaan di lain waktu.”

“Aku yakin Tuhan pasti memberikan kebahagiaan yang lebih dari kami yang ikut seminar dan makan enak tadi.”

Aku meyakinkan Niji agar dia tetap tegar menghadapi jalan hidupnya

“Biar bagaimanapun kita mesti sabar, sabar dan sabar karena kita akan menemukan makanan yang lebih enak daripada kami yang sudah makan tadi.”

Kami hanya membicarakan makanan, karena setiap hari yang kami alami tiada lain kecuali lapar dan kelaparan.

“Lalu bagaimana dengan kelaparan kita ini”? tanya Niji sambil memegang perutnya.

“Kita jalan lagi,” jawabku

“Ke mana?”

“Ke mana saja yang penting kita mendaptkan makanan.”

Jam sudah menunjukkan pukul 14.00. Kami terus berjalan menyusuri sepanjang trotoar nol kilometer sampai jalan panjaitan, kami berjalan belum juga mendapatkan makanan sama sekali, akhirnya kami berteduh lagi dan tidur walau dengan keadaan lapar.

Ngantuk menyerang kami yang seharian tidak makan dan tidak minum, kami tidur pulas sampai tidak merasakan lagi kelaparan yang menimpa, hingga waktui beranjak sore kami belum juga bangun, dan dengan badan dan baju yang lusuh kami dengan PDnya bangun dan bergegas.

“Nij bangun sudah sore,” kataku sambil membuang kelelahan.

“Jam berapa?”

“Gak tahu.”

“Ayo bangun.”

Kami tidak merasakan senja yang lewat, malam sudah membangunkan, setiap masjid sudah mengumandangkan azan maghrib, kami masih tetap dalam keadaan lapar, waktu dan detik sudah kami lalui dengan haus dan kelaparan, bagi kami malam bagaikan makanan yang sudah dimasak dengan enak dan siap untuk dimakan, malam bagi kami adalah sebuah kebahagiaan yang akan membawa ke hari esok, karena esok mungkin kita mendapatkan makanan yang dijanjikan Tuhan.

Malam itu, adalah malam di mana setiap orang berpesta karena malam itu adalah malam Valentine. setiap orang bahagia dengan datangnya hari itu, aku dan Niji hanya bisa merasakan kebahagiaan yang lain, Niji tersenyum kecil, kenapa engkau tersenyum, tanyaku, aku bahagia sekali.

“Kok bisa kamu bahagia?

“Walau orang itu tidak punya apa-apa, miskin sekalipun pasti merasakan kebahagiaan, walau lapar seperti ini?”

Betapa sangat lembut hatimu, walau kelaparan demi kelaparan selalu menjadi jalan hidupmu, walau kamu tidak pernah merasakan seperti apa bahagia itu? lembah derita memang sudah menjadi sajadah waktu, kita hanya bisa menunggu waktu yang akan bercerita pada setiap langkah yang kita jalani, walau jalan itu penuh sembilu dan batu-batu cadas yang menghadang, kita mesti berjalan pelan, sebab pada akhirnya kita akan juga menembus batu itu dengan kesabaran yang ditanam sejak kita merasakan kelaparan, lapar adalah sajadah waktu yang indah untuk menemukan matahari dan mengarungi samudera dalam cakrawala keemasan.
Lalu, apa kata hujan?

*Penulis anggota Komunitas Semenjak Gapura. Dosen di STKIP PGRI Sumenep.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

3
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...