spot_img
Categories:

Pandemi dan Cara Membangun Kesadaran Masyarakat Madura

- Advertisement -

Oleh; Ahmad Fikri*

Stereotipe tentang masyarakat Madura yang dikenal sebagai suku dengan tipikal pola pikir arogan, keras kepala, terbelakang, malas berpikir namun giat bekerja atau merantau dan masih tradisionalis masih membekas. Meskipun stereotipe tersebut tidak bisa langsung dibenarkan, namun ia juga tidak bisa ditolak secara gamblang. Pasalnya, dalam beberapa kasus, warga Madura memang menunjukkan sikap yang turut membuktikan sterotipe tersebut. Termasuk juga sikapnya dalam menyikapi pandemi.

Tidak percaya adanya virus covid-19. Entah dengan cara apa saya menggambarkan kondisi ini bagi para pembaca, mengingat bahwa tidak sedikit papan reklame dan poster-poster di pinggir jalan yang menyerukan untuk patuh protokol kesehatan, jaga kesehatan dan semacamnya seputar penanganan covid-19. Namun di samping itu juga, fakta lapangan tidak sesuai dengan apa yang tertera di papan reklame dan sejenisnya tersebut.

Pada kenyataannya, kebanyakan dari orang Madura tidak percaya akan adanya viru covid-19 ini. Tidak tahu pasti mengapa demikian, bisa jadi termakan isu hoaks. Dalam arti, ketika mereka mengadopsi isu tersebut mereka langsung menerima tanpa adanya pengamatan yang lebih lanjut dan menganggap bahwa yang mereka terima itu merupakan kabar yang  bisa dibenarkan.

Ketidak percayaan orang Madura akan virus covid-19 ditunjukkan dengan sangat malasnya mereka untuk memakai masker dan sebagainya. Tidak hanya itu, bahkan sebagian dari mereka menentangnya. Pernah suatu ketika ada teman saya dari luar kota main ke Madura. Lebih tepatnya ia ziarah ke salah satu makam yang dikeramatkan di daerah Madura. Sesampainya di tempat tersebut, dia ditegur oleh salah satu penduduk Madura karena ia memakai masker.

Madura ini anti corona, kalau takut corona jangan ke Madura“. Begitulah kata-kata yang keluar dengan kasar dari penduduk asli Madura kepada tamunya saat itu. Dengan hal tersebut, setidaknya stereotipe tentang kasar dan keterbelakangnya orang Madura dapat dikuatkan dengan sampel sikap di atas.

Lanjut, di satu sisi dengan ketidakpercayaan orang Madura akan covid-19 tidak bisa kita sepenuhnya menyalahkan mereka. Mengingat bahwa selain orang Madura juga banyak orang di luar sana yang menolak untuk percaya pada hal begituan. Kebanyakan mereka ini dari golongan menengah ke bawah dalam hal ekonomi. Pedagang di pasar hingga pedagang kaki lima juga banyak dimediakan menolak saat ditertibkan petugas karena merasa dirinya dirugikan jika patuh dan percaya pada isu pandemi. Hemat penulis, tekanan ekonomi menjadi salah satu sebab seseorang untuk tidak mempercayai covid-19.

Selain itu, masyarakat dengan pendidikan dan daya pengetahuan yang rendah juga termasuk pada golongan penolak untuk percaya pada adanya virus corona. Hal ini karena disebabkan beredarnya kabar hoaks yang tampak meyakinkan dan ditambah dengan latar belakang pendidikan yang minim sehingga menyebabkan dirinya bersikap tanpa didasari kepahaman yang benar akan isu dan realita yang sebenarnya. Dari pandemi yang sebatas konspirasi hingga vaksinasi yang dikabarkan bak alat pembunuh termasuk isu menyesatkan namun diterima oleh masyarakat golongan ini. Maka dengan realita lapangan yang demikian, pennyebar berita hoaks juga bertanggung jawab dalam hal ini.

Salah satu cara untuk menghadapi pandemi ialah edukasi masyarakat. Membangun kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya menjaga diri sendiri dan orang sekitar dari virus yang bisa dilakukan dengan taat protokol kesehatan. Komunikasi yang baik antara penyampai dan penerima sangat urgen keberadaannya untuk memperlancar edukasi di masyarakat secara umum dan masyarakat Madura secara khusus. Dibutuhkan gerakan langsung dari para tokoh agama, yakni para kiai, mengingat kultur budaya dan kearifan lokal suku Madura yang dengannya terbentuk kelas tertentu untuk dipatuhi titahnya. Adalah Bappa’-Babbu’, Guru, Rato merupakan tingkatan dimana dengan hal tersebut tercipta siapa yang lebih pantas untuk diikuti.

Bappa’-Babbu’ ialah kedua orang tua yakni bapak dan ibu. Patuh kepada keduanya adalah kepatuhan paling utama sebelum mematuhi selainnya. Guru, adalah guru baik guru spiritual maupun keilmuan. Arti dari guru di sini bisa memiliki makna yang luas. Guru masyarakat  kita kenal dengan tokoh agama atau kiai, masuk dalam kelas guru dimaksud. Pengaruh seorang kiai di tengah masyarakat Madura sangatlah besar. Apalagi seorang kiai tadi berkharismatik dan terkenal menjauhi urusan yang bersifat duniawi, ikut dalam kontestasi politik praktis misalnya. Tipe kiai tersebut ketika berbicara pasti didengar dan ketika bicaranya tadi mengandung perintah pasti akan dituruti dan dipatuhi.

Selanjutnya ialah Rato, yang mempunyai arti pemerintah atau kalangan pejabat. Perintah dan titah dari seorang rato bagi masyarakat Madura merupakan titah terendah. Bukan tidak pantas untuk dipatuhi, akan tetapi ia masih di bawah derajat orang tua dan guru. Jika bertentangan antara orang tua dan pemerintah maka yang diambil adalah apa yang dari orang tua. Begitu pula ketika bertentangan antara guru dan pmerintah maka yang diutamakan adalah hal yang datangnya dari guru.

Dalam kasus pandemi ini, pemerintah telah terlalu banyak melakukan blunder dan kesalahan di mata rakyat. Sehingga dengan kesalahan dan kekurangan tadi membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terkikis. Sudah derajatnya paling rendah dalam hal dipatuhinya oleh rakyat ditambah dengan kesalahan lain yang diperbuat maka telah cukup untuk menjadi alasan kurang percayanya masyarakat kepada pemerintah sehingga ditunjukkan dengan penolakan yang dilakukanya terhadap apa yang diminta oleh pemerintah.

Maka dari hal ini, kehadiran kiai sangat dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat. Kiai  sebagai sosok yang didengar titahnya mau tidak mau harus melakukan edukasi betapa cepat menularnya pandemi dan butuh usaha untuk mencegahnya, yakni salah satunya dengan patuh protokol kesehatan dan vaksinasi. Kiai harus bicara. Tidak ada persoalan antara paham atau tidaknya terhadap dunia kesehatan selama mengajak untuk patuh protokol kesehatan maka ia harus bicara.

Dalam kasus ini mengapa bukan vigur orang tua yang diutamakan? Sebab jangkauan orang tua hanyalah anak-anaknya sedangkan kiai yang ditokohkan sangat jauh lebih luas. Adapun orang tua ialah wajib mengedukasi putra-putrinya. Sebab hanya dengan seperti itulah masyarakat Madura bisa patuh. Wallahu a’lam.

*Alumni PP.Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-guluk dan Mahasantri aktif Ma’had Aly Hasyim Asy’ari pesantren Tebuireng.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

3
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...