Gapura, NU Online Sumenep
Salah satu persoalan dalam pelestarian lingkungan adalah pengelolaan sampah plastik. Ada banyak sampah plastik yang dihasilkan dari setiap perilaku konsumtif manusia. Namun demikian, salah satu pesantren di Kecamatan Gapura, justru memiliki ide kreatif dalam mengolah sampah plastik tersebut menjadi lebih bermanfaat.
Pondok Pesantren Al-In’am 2, atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Paramaan, Desa Gapura Barat, Kecamatan Gapura, menjadi pioner dalam gerakan pelestarian lingkungan. Mereka berhasil mengubah sampah plastik menjadi batako, atau paving blok.
Pengasuh Pondok Pesantren Paramaan, Kiai Muhsi Mas’ud mengatakan, bahwa inisiatif mengolah sampah plastik menjadi batako bermula dari kesadaran pribadinya. Dirinya prihatin ketika melihat sampah yang dihasilkan di pesantren justru mencemari warga sekitar.
“Pesantren kami kan tidak punya lahan pembuangan sampah. Sementara sampah plastik dibuang ke kebun tetangga. Kami berpikir betapa kasihan warga sekitar jika kebunnya jadi tempat pembuangan sampah pesantren. Sementara sampahnya tidak bisa terurai oleh lingkungan. Akhirnya kami berinisiatif untuk mengolah sampah itu agar lebih bermanfaat,” ujarnya kepada NU Online Sumenep, Kamis (27/10/2022).
Atas dasar itulah, Kiai Muhsi, begitu ia akrab disapa, membuat cetakan batako atau paving blok yang terbuat dari besi tebal. Kemudian mengajari para santri proses pembuatan batako berbahan dasar plastik.
Pemilihan batako atau paving blok bukan tanpa alasan, Kiai Muhsi menyebutkan bahwa untuk membuat satu batako saja, membutuhkan banyak sampah plastik. Para santri butuh sekitar 6 karung sampah plastik di setiap pembuatan satu batako. Sehingga sangat signifikan dalam meminimalisir sampah.
“Kami sangat tertarik dengan batako berbahan dasar plastik karena untuk membuat satu batako saja itu butuh banyak sampah. Sekitar kurang lebih 6 karung plastik persatu batako. Jika kita membuat 10 atau lebih batako, bisa dibayangkan berapa banyak sampah plastik yang sudah kita daur ulang,” tambahnya.
Meski begitu, pihaknya mengaku akan terus belajar dan mendalami proses pembuatan batako dari bahan plastik. Agar dapat menghasilkan batako lebih baik dengan kualitas tinggi. Sehingga bisa digunakan di halaman rumah maupun jalan setapak. Dan tidak menimbulkan licin ketika diterpa hujan.
“Akan berbeda hasilnya jika batako berbahan dasar plastik ini dicampur pasir hitam. Jadi teksturnya lebih kasar dan tidak menimbulkan licin. Tapi hasil kreasi para santri ini jika dipasang di sisi samping kanan kiri rumah, tentu akan memiliki nilai estetika yang baik,” terangnya.
Proses pembuatannya pun tidak begitu sulit. Tahap awal menyiapkan bahan dasar sampah plastik, kemudian diolah di atas tungku api. Agar memudahkan proses pengolahan, bahan dasar itu dicampur oli bekas agar lebih kental. Ketika sudah mencair, dituangkan ke cetakan besi dan ditekan. Lalu didiamkan sekitar 10 menit. Batako dengan bahan dasar sampah plastik pun jadi.
Kiai Muhsi bertekad ke depan akan lebih mengasah kreativitas santri tersebut dalam menangani persoalan sampah. Bahkan ia sedang merencanakan menitipkan tempat sampah plastik di rumah-rumah warga sekitar.
“Kami juga akan minta kepada warga untuk berkenan memasukkan sampah plastik ke tempat yang kita sediakan. Kemudian kita ambil untuk dijadikan bahan dasar batako,” ungkapnya.
Kiai Muhsi juga mengajak kepada pesantren-pesantren lain untuk bersama-sama memanfaatkan sampah plastik menjadi lebih bermanfaat. Sebagaimana yang telah digagas Pesantren Paramaan Gapura.
“Kita juga berharap pihak terkait, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup lebih memberikan perhatian kepada pesantren yang sudah terbukti memiliki keinginan kuat untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat sampah yang tak terurus. Ini butuh dukungan banyak pihak,” pungkasnya.
Editor: A. Habiburrahman