Lenteng, NU Online Sumenep
Salah satu fungsi Al-Qur’an adalah sebagai panduan bagi manusia hidup di muka bumi, termasuk panduan dalam beribadah kepada Allah SWT. Hanya saja, Al-Qur’an yang berfungsi sebagai panduan itu tidak menjelaskan persoalan-persoalan di dalamnya secara rinci. Tujuannya, supaya manusia terus berpikir.
Wakil Pengasuh Mushalla Al-Muttaqin Lembung Barat, Kiai Safrawi menjelaskan, sengaja Allah SWT membuat Al-Qur’an bersifat global. Alasannya, supaya manusia terus berusaha memahaminya, sehingga tradisi intelektual manusia tidak statis.
“Kalau penjelasan Al-Qur’an bersifat rinci, seperti menjelaskan shalat lengkap dengan syarat rukun dan lain sebagainya maka manusia itu tidak berpikir dan tidak berkembang keilmuannya,” ungkap beliau saat melaksanakan kegiatan rutin mingguan Tadarus Al-Qur’an Mushalla Al-Muttaqin Lembung Barat, Lenteng, Jumat (04/02/2022) malam.
Dalam momen itu, Kiai Safrawi mencontohkan dalam persoalan shalat. Menurutnya, Al-Qur’an hanya mengintsruksikan perintah shalat, sebagaimana dijelaskan dalam Surat An-Nur ayat 56; Wa Aqimusshalah, dan dirikanlah shalat oleh kalian. Tetapi tidak menjelaskan syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya apa saja, dan lain sebagainya.
Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Yaqin Lembung Barat itu juga mengungkapkan, selain penjelasan dalam Al-Qur’an bersifat global, sehingga membutuhkan eksplorasi lebih dalam, kandungan di dalamnya juga sangat luas. Ini yang kemudian memacu para ulama untuk mengkaji Al-Qur’an lebih dalam, untuk mengarungi kedalaman maknanya.
“Ada ayatul uluhiyyah (teologi), ayatun nubuwwah (kenabian), ayatul ma’ad (akhirat), ayatul qashash (kisah-kisah), ayatul kaun (alam), dan ayatut tasyri’,” jelas Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa itu.
Dijelaskan oleh Kiai Safrawi, untuk memahami Al-Qur’an, banyak tahapan yang harus dilalui agar sampai pada puncak. Menurutnya, ada enam tahap. Pertama, mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Kedua, mampu mengartikannya dengan tepat. Ketiga, mampu melakukan tathbiqul masa’il (mengaplikasikan dengan persoalan-persoalan yang ada).
“Keempat, mampu melakukan tathbiqud dala’il (menerapkan dalil-dalilnya). Kelima, ma’rifatu kaifiyyatil istinbath (mengetahui cara pengambilan hukum). Keenam, ini yang paling puncak, ma’rifatu asraril qur’an (mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an),” paparnya.
Terkait ma’rifatu kaifiyyatil istinbath, Alumni Institut Agama Islam (IAI) Al-Khairat Pamekasan ini mencontohkan pengambilan hukum yang dilakukan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i mengenai hukum berurutan dalam membasuh anggota wudhu. Ia menjelaskan, jika Imam Malik tidak mengharuskan berurutan, tapi menurut Imam Syafi’i wajib.
Dasar argumen kedua ulama itu adalah Surat Al-Ma’idah ayat 6. Hanya saja, Imam Malik memahami huruf wawu berfaedah limuthlaqil jam’i, sementara menurut Imam Syafi’i faedahnya littartib.
“Ayatnya sama, tapi produk hukumnya berbeda karena cara ber-istinbath-nya yang berbeda. Begitulah keluasan Al-Qur’an, bagai laut tak bertepi,” pungkasnya.
Editor : Ach. Khalilurrahman