Kota, NU Online Sumenep
Pengasuh Pondok Pesantren Zawiyah Huffadh dan Pondok Pesantren Manba’us Sa’adah, Pati, Jawa Tengah, KH Nanal Ainal Fauz, menyerukan tentang pentingnya menjaga sanad keilmuan. Hal itu menjadi kontrol moral tetap sejalan dengan manhaj jumhurul ulama (mayoritas ulama Islam).
Hal tersebut disampaikan Kiai Nanal — sapaan akrabnya — saat mengisi acara Ngaji Sanad Ke-NU-an yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep pada Sabtu (8/11/2025) di aula lantai dua kantor PCNU setempat.
Acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Konferensi Cabang (Konfercab) NU Sumenep 2025, yang dihadiri jajaran Syuriah, Tanfidziyah, lembaga, Banom, serta perwakilan MWCNU dan PRNU se-Sumenep.
Kiai Nanal menegaskan bahwa inti dari bersanad bukan sekadar mencatat nama guru, melainkan mengikuti manhaj berpikir dan beramal para guru yang bersambung hingga Rasulullah SAW dan sesuai dengan jumhurul ulama.
“Intisari dari bersanad, adalah mengikuti manhaj berpikir dan beramal guru yang bersambung hingga Rasulullah SAW, sesuai dengan manhaj yang dianut mayoritas ulama. Yang tak kalah penting lagi adalah sanad dalam berpikir dan beramal sesuai dengan koridor guru-guru kita. Sehingga itu menjadi kontrol agar kita tetap di rel yang digariskan guru-guru kita,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan, berdirinya NU justru berawal dari keinginan para ulama untuk menjaga masyarakat agar tetap berada dalam koridor mazhab yang diakui jumhurul ummah.
“NU bukan madzhab baru. NU justru hadir untuk meneguhkan kewajiban bermadzhab dan mengikuti mayoritas ulama. Ini penting agar kita tidak keluar dari jalur keilmuan yang lurus,” ujarnya.
Kiai Nanal kemudian mengutip syair para ulama: orang yatim itu bukan yang meninggal orang tuanya, tapi orang yang tidak punya guru dan tidak punya sanad.
“Alhamdulillah semoga kita bukan yatim syaikhi dan yatim sanadi. Selama hidup, usahakan punya guru yang bisa dirujuk. Kalau guru sudah wafat, kuatkan ta’alluq (keterikatan batin) kepada para guru. Karena ta’alluq itulah yang menjaga kita,” lanjutnya.
Kiai Nanal juga menyinggung fenomena di media sosial, di mana banyak perdebatan muncul dari kalangan cendekiawan yang lepas dari bimbingan guru.
“Banyak yang kelihatan pintar, tapi keblinger, karena tidak punya ta’alluq kepada guru. Kalau punya guru, setiap langkah diawasi, dikoreksi, diingatkan. Kalau tidak, merasa paling benar sendiri. Padahal di atas yang alim, masih ada yang lebih alim,” pesannya.
Menutup tausiyahnya, KH Nanal mengajak seluruh kader NU untuk memperkuat kembali hubungan sanad keilmuan dan keguruan. Sebab, di era yang penuh keterbukaan dan kebebasan akses informasi ini, butuh kontrol kuat dari para guru-guru kita agar tidak fatal.
“Selama masih hidup usahakan punya guru yang kita rujuk, kalau misal guru kita sudah meninggal semua, kuatkan ta’alluq dengan para guru. Karena ta’alluq itu yang menjaga,” pungkasnya.
Upaya Kiai Nanal Menghimpun Karya Ulama Nusantara
Dalam pemaparannya, Kiai Nanal menjelaskan isi kitab karyanya yang berjudul Ats-Tsabat Al-Indonesi, yang menghimpun lebih dari seribu judul kitab karya ulama Nusantara beserta rantai sanad penulisnya kepada para muallif.
Di dalamnya juga disebutkan banyak nama ulama besar Nusantara yang memiliki kedudukan dalam sanad keilmuan dunia Islam, termasuk dalam sanad Shahih Bukhari.
“Di antara yang paling sepuh adalah Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, beliau termasuk dalam silsilah sanad Shahih Bukhari,” jelasnya.
Kiai Nanal juga menyinggung kiprah para ulama besar Nusantara seperti Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, yang memiliki lebih dari 30 karya tulis, termasuk syarah Alfiyah Ibnu Malik dan tafsir dengan makna bahasa Madura dan Jawa.
“Saya aktif di Lajnah Turats Syaikhona Kholil, banyak naskah langsung tulisan tangan beliau. Ini menunjukkan betapa produktifnya ulama-ulama kita,” tuturnya.
Tak hanya itu, Gus Nanal menyoroti keberadaan ulama perempuan dalam sanad keilmuan, seperti Hadratus Syaikhah Fathimah binti Abdussomad al-Falimbani dan Syaikhah Khairiyah binti Hasyim Asy’ari — pendiri madrasah perempuan pertama di Makkah.
“Ilmu itu tidak dimonopoli oleh laki-laki. Dari dulu perempuan juga punya peran besar dalam tradisi keilmuan Islam,” tandasnya.

