spot_img
Categories:

Mak Ijah dan Surau yang Sepi

- Advertisement -

Cerpen: Ulfa Ucil

Mak Ijah duduk termenung seorang diri di beranda surau. Dalam lamunannya terbayang wajah santri-santrinya yang dulu pernah belajar mengaji kepadanya. Satu tahun sudah surau itu sepi dari anak-anak mengaji, kini tidak ada lagi orang tua yang menitipkan anak-anaknya untuk mengaji kepada Mak Ijah.

Mak Ijah adalah seorag guru ngaji di kampung Tora. Banyak anak-anak di kampung tersebut oleh orang tuanya dititipkan mengaji kepada Mak Ijah, bahkan anak-anak dari luar kampung Tora juga belajar mengaji kepadanya. Mak Ijah juga dianggap sebagai sesepuh oleh warga kampung. Setiap kali ada perselisihan yang terjadi, Mak Ijahlah yang akan turun tangan membantu menyelesaikan dan mendamaikan. Perempuan yang kini usianya sudah memasuki lima puluh lima tahun sudah lama ditinggal suaminya. Suaminya yang pernah menjabat kepala desa di kampung Tora dulunya, meninggal karena penyakit diabetes yang dideritanya. Mak Ijah kini tinggal dengan anak laki-laki satu-satunya yang sudah mempunyai istri dan satu orang anak.

Selain mengajari anak-anak mengaji, biasanya Mak Ijah juga mengisi pengajian dari kampung yang satu ke kampung yang lain. Setiap hari Mak Ijah akan berjalan kaki untuk mengisi pengajian atau sesekali akan dijemput oleh salah satu jamaahnya bila kampung yang akan didatangi untuk mengisi pengajian sangatlah jauh. Tak peduli hujan panas menerpa, Mak Ijah tetap semangat dalam mengisi pengajian. Baru ketika menjelang magrib Mak Ijah akan mengajari anak-anak kampung untuk mengaji. Anak-anak kampung yang mengaji kepada Mak Ijah berjumlah kurang lebih lima puluh orang laki-laki dan perempuan.

Sore itu menjelang matahari terbenam di barat, anak-anak kampung yang akan mengaji kepada Mak Ijah sudah datang. Di masjid terdengar suara qori yang sedang melantunkan ayat suci yang disetel dari kaset. Sementara anak-anak kampung tersebut menyapu halaman mushala, ada yang menyapu dan membersihkan mushala, ada yang mencabuti rumput dan ada yang menyapu rumah Mak Ijah. Semua itu mereka lakukan setiap hari karena atas kemauan mereka sendiri. Selesai bersih-bersih mereka akan siap-siap salat maghrib berjamaah. Biasanya yang akan menjadi imam salat adalah anak laki-laki Mak Ijah satu-satunya.
***

Malam itu sehabis mengajar mengaji, Mak Ijah mengajar santri-santri yang masih usia dini belajar gerakan salat dan bacaannya. Dengan telaten dan penuh kesabaran Mak Ijah membimbing mereka, terkadang di antara mereka ada yang menangis sebab belum hafal bacaan salat, namun Mak Ijah tidak pernah putus asa mengajarinya sampai benar-benar bisa. Suara anak-anak yang sedang belajar salat menggema di langit-langit surau, sementara santri-santri yang berusia remaja belajar pelajaran untuk sekolah besok. Mereka belajar dengan dibantu oleh anak laki-laki Mak Ijah yang bernama Hasan, biasanya mereka memanggil dengan sebutan Kak Hasan.

Tiba-tiba di luar surau terdengar suara orang berteriak-teriak memanggil nama Mak Ijah, dari nada penggilannya terdengar orang tersebut sangat marah sekali. Entah apa yang terjadi?. Mak Ijah keluar surau, diikuti oleh Hasan. Sementara para santri tetap dengan belajarnya masing-masing.

“Ada apa Bu Maryam?” Tanya Mak Ijah kepada seorang perempuan yang tadi memanggilnya dengan berteriak-teriak penuh amarah. Ternyata itu adalah Bu Maryam, salah satu orang tua dari anak yang mengaji kepada Maj Ijah.

“Saya mau menjemput anak saya, saya tidak sudi anak saya diajarkan mengaji oleh orang yang menyebarkan ajaran sesat,” ucap Bu Maryam dengan nada masih marah-marah.

“Ada apa ini, Bu? Ajaran sesat apa? Saya tidak mengerti?” Tanya Mak Ijah sambil mngernyitkan dahinya tanda tidak mengerti dengan perkataan Bu Maryam.

“Halah…Mak Ijah tidak usah pura-pura, semua orang sekarang sudah tahu tentang ajaran sesat yang dianut oleh Mak Ijah”

“Ajaran sesat apa, Bu? Saya tidak pernah mengajarkan ajaran sesat kepada siapa pun!” Jelas Mak Ijah.

Tak selang beberapa lama, ibu-ibu yang lain datang juga dengan alasan yang sama. Ibu-ibu itu menarik anak-anaknya untuk tidak belajar mengaji lagi kepada Mak Ijah. Mak Ijah dituduh menyebarkan ajaran sesat. Mak Ijah tidak dapat menghalangi ibu-ibu untuk mengambil anak-anaknya. Dengan sedih hati Mak Ijah melepas anak-anak itu dengan linangan air mata.

“Siapa yang sudah menyebarkan fitnah seperti ini?” Ratap Mak Ijah sambil duduk di teras surau dengan nada lemas.

Hasan mendekati ibunya itu, mencoba menghiburnya.

“Mak…yang sabar ya!” Hasan memeluk ibunya itu.

“Kok ya ada orang yang tega memfitnah seperti ini?” Mak Ijah terisak dalam pelukan Hasan.

“Besok Hasan akan mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menyebarkan fitnah seperti ini”

“Tidak perlu, Nak! biar Allah yang membalas semuanya bagi orang-orang yang sudah memfitnah kita. Kita pasrahkan semuanya pada Allah,” ucap Mak Ijah sambil mengusap air mata yang sempat menetes.

“Tapi Mak… kalau masalah ini tidak diusut sampai tuntas, orang-orang akan terus-terusan beranggapan bahwa kita mengajarkan ajaran sesat sebagaimana mereka pikirkan,” Hasan mencoba meyakinkan Mak Ijah.

“Pokoknya besok saya akan mencari tahu siapa yang tega menyebarkan fitnah seperti ini,” lanjut Hasan lagi dengan wajah geram.

Mak Ijah hanya diam, ia hanya pasrah saja dengan keputusan anaknya itu untuk menyelidiki siapa yang menyebarkan fitnah kepada dirinya.
***

Satu tahun sudah, Hasan tidak menemukan bukti siapa sebenarnya yang telah menyebarkan fitnah keji kepada Ibunya. Kini tidak ada lagi yang belajar mengaji kepada Mak Ijah di surau. Surau itu kini menjadi sepi, tidak ada lagi suara anak-anak mengaji dan belajar salat, tidak ada lagi suara canda tawa anak-anak itu. Selepas salat berjamaah bersama Hasan di surau, Mak Ijah selalu merenung, sesekali Mak Ijah menangis bila mengingat kejadian satu tahun yang lalu, ketika anak-anak yang mengaji kepadanya dijemput paksa oleh orang tua mereka sebab adanya fitnah yang sampai saat ini belum diketahui siapa yang berperan dalam menyebarkan fitnah keji yang mengatakan bahwa Mak Ijah telah mengajarkan ajaran sesat kepada anak-anak yang belajar mengaji kepadanya. Bahkan sebagian jamaah pengajiannya juga terpengaruh dengan adanya fitnah tersebut, sehingga sampai saat ini Mak Ijah hanya mengisi pengajian kepada jamaahnya yang tidak termakan dengan adanya fitnah tersebut.

Di balik jubah malam, rembulan mengintip malu-malu di balik pohon kelapa. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah Mak Ijah yang basah dengan air mata. Malam itu Mak Ijah rindu dengan santri-santrinya yang belajar mengaji kepadanya. Kini surau itu kesepian, Mak Ijah menelan rindu dalam-dalam.

Sumenep, 11 April 2022

Ulfa Ucil lahir di Sumenep pada tanggal 7 Juni. Untuk masukan dan kritik bisa dihubungi via WhatsApp : 085336587460 dan Email: [email protected], Instagram: @ulfaucil40

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Redaksi
Redaksihttps://pcnusumenep.or.id
Website resmi Nahdlatul Ulama Sumenep, menyajikan informasi tentang Nahdlatul Ulama dan keislaman di seluruh Sumenep.
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...