spot_img
Categories:

Tidakkah Kau Mengingatku, Tuan?

- Advertisement -

Cerpen: Fhieq Achmad*

Dadaku bergemuruh saat melihat majikanku membuka pintu. Ia berjalan tergesa-gesa lalu mengambil kunci motornya di atas meja. Melihat gelagatnya, aku sangat yakin ia akan menghampiriku. Akh, tidak! Ia hanya mengambil sebuah helm di sampingku, lalu keluar tanpa melihatku meski hanya sedetik. Padahal, aku ada di sampingnya.

“Aku di sini, Tuan!” Aku berteriak memanggilnya. Oh, betapa bodohnya aku. Ia tak akan mendengarku. Huh! Lagi-lagi aku dibuat kecewa olehnya.

Sudah tiga hari ia seperti itu. Membiarkanku berdiri mematung di tempat peristirahatanku. Lebih parahnya, aku dipisah dengan sahabatku yang juga ia istirahatkan di dalam lemari tak jauh dari tempatku. Apa ia tak pernah memikirkan rinduku padanya? Padahal, ia yang mempertemukanku dengannya dulu. Apa ia tak ingin lagi melahirkan cerita-cerita? Padahal, ia sudah dikenal banyak orang dan mendapat banyak uang sebab bantuanku dan juga sahabatku.

Aku tak habis pikir mengapa majikanku menelantarkanku dan sahabatku seperti ini. Sebelumnya, ke mana pun ia pergi, aku dan sahabatku tak pernah lupa ia bawa. Saat ia menemukan imajinasi baru yang tiba-tiba muncul di kepalanya, lekas-lekas ia menari-narikanku di atas sahabatku.

Saban malam, ia gemar sekali bermain denganku dan juga sahabatku hingga larut malam. Kami senang sekali melihat beragam tingkahnya, kadang dahinya mengerut sambil diurut-urut, kadang kepalanya digaruk-garuk, kadang jari telunjuknya digigit, kadang rambutnya diacak-acak kasar, kadang matanya dipejamkan begitu erat serta hidungnya ditarik ke atas dan dahinya dipukul-pukul. Ia selalu selalu gelisah, dan terkadang juga tertawa. Tapi sedikit. Ia lebih banyak gelisah.

Saat ia selesai bermain denganku dan juga sahabatku dan telah berhasil melahirkan cerita, ia begitu gembira tiada tara. Seamsal budak yang baru saja dimerdekakan oleh tuannya, atau seorang tahanan yang baru saja dibebaskan dari penjara.

Tengah malam, saat ia baru datang, aku mendengarnya berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ia duduk di kursi dekat tempat peristirahatanku, kursi yang biasa ia gunakan untuk bermain denganku dan juga sahabatku untuk mengekalkan imajinasinya. Namun, ia lagi-lagi membuatku kecewa. Sama sekali ia tak menganggapku ada.
“Aku sudah lelah dengan hujatan orang-orang, Bung. Aku jera. Aku tak akan melakukannya lagi. Aku akan mencari hobi lain!”

Deg…!

Mendengarnya, hatiku sakit serasa ditindih bukit, perih serasa ditusuk sejuta sumpit. Ia telah melupakanku. Tapi, apa sebabnya? Ah! Harapanku telah pupus!

“Tapi, seperti itu memang rintangannya, Bung! Jika kamu mampu melaluinya, kamu akan sukses,” balas seseorang yang ia telepon itu. Ia berdecak kesal lalu memutus sambungan panggilannya.
Brak!

Ia memukul meja cukup keras. Diacak-acaknya rambutnya dengan kasar lalu berteriak kesal.
Kemudian ia menatapku sebentar, aku langsung berdebar. Ah! Aku terlalu berharap. Padahal, baru saja aku mendengar sendiri bahwa ia akan mencari yang lain. Lantas Ia menghidupkan layar ponselnya, lalu menggerak-gerakkan jemarinya di atasnya.

Plak…!

Terperanjat aku setelah mendengar bunyi benturan cukup keras, ia membanting ponselnya ke atas meja.
“Akh! Kenapa banyak yang menghujatku!” teriaknya, begitu frustrasi.

***

Siang dan malam aku hanya ditindih oleh harapan. Ingin sekali aku menjadi tempat sandaran, paku-paku karat yang menancapi psikis dan intuisinya, kepadaku ia buang, agar aku dan sahabatku lekas menjamu temu. Namun, aku tak kuasa. Mendengarku pun ia sama sekali tidak pernah. O, sungguh aku tak mengerti mengapa majikanku berubah seperti itu. Saat melihat ia di depanku namun tak sedetik pun melihatku, ia seumpama mata air dan aku adalah makhluk paling dahaga yang tak kuasa meneguknya.

***

Kulihat majikanku mondar-mandir gelisah sambil memegang ponsel di depanku. Namun, seperti biasa, ia tak sedetik pun melihatku, apalagi mewujudkan apa yang kuharapkan.

“Panggil, enggak? Panggil, enggak?” Ia nampak begitu bimbang sedikit ketakutan. Ia menggigit jari telunjuknya kemudian berdecak kesal. Dengan ragu, lantas ia menghubungi nomor seseorang. Namun, sebelum panggilannya terhubung, lekas-lekas ia mematikannya. Ia takut. Ia mengembuskan napasnya dengan kasar.

“Ah, bagaimana kalau dia memarahiku?”

“Bagaimana kalau dia memusuhiku?”

“Aghr tidak! Aku harus minta maaf! Aku harus tanggung jawab!” Ia berbicara sendiri. Ditariknya napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, mencoba untuk tenang. Akhirnya, ia kembali menghubungi nomor itu dengan ragu-ragu. Mondar-mandirlah ia menunggu panggilannya terhubung sambil menggigit jari telunjuknya. Ia kembali mencoba membatalkan panggilan itu, namun urung. Mencobanya lagi, namun urung. Dan, akhirnya ia memberanikan diri.

“Assalamualaikum, dengan siapa?” Terdengar suara dari ponselnya itu.

“A-aku Abdurrahman, Embak Nissa !” jawabnya kaku.

Embak Nissa? Sepertinya aku pernah tahu nama itu.

“Oh, ada apa, Mas?”

“A-aku minta maaf, Embak! Aku telah lancang meminjam nama Embak dalam cerita Sehelai Rambut itu,” ia berujar kaku, seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Lalu ia keluar dari kamar sehingga tak bisa lagi aku dengar percakapannya dengan yang namanya Nisa itu. Ah, membuatku penasaran saja!

Minta maaf? Kenapa ia meminta maaf padanya? Dan sepertinya aku juga pernah tahu perihal cerita Sehelai Rambut itu. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan sikapnya kepadaku?

Malam ini sudah malam ketujuh aku memeram perihnya rindu pada sahabatku. Dan malam ini malam ketujuh pula ia tak lagi bermain denganku dan juga sahabatku. Sejak saat itu, aku hanya melihatnya selalu gelisah di depanku lalu tertidur di atas ranjang. Namun, aku masih berharap semuanya akan berubah. Aku yakin-semua akan indah pada waktunya.

Aku mendengar majikanku sedang berbicara dengan laki-laki berambut gimbal. Meraka ada di depanku. Namun, lagi-lagi ia membuat hatiku terasa nyeri bagai ditusuk seribu duri. Sama sekali ia tak memandangku walau hanya sedetik.

“Sudahlah! Jangan putus asa, menulislah lagi!” titah laki-laki berambut gimbal itu.

Menulis lagi? Berdebar aku mengharapkan majikanku untuk mengiyakan titah laki-laki itu.

“Aku takut dihujat lagi, Bung!” balasnya, lemas.

“Lain kali harus hati-hati!”

Ia tak menjawab, cuma menggaruk-garuk rambutnya.

“Coba ceritakan sedikit! Ada apa dengan cerita Sehelai Rambut itu sehingga kamu banyak yang menghujat?” pinta laki-laki itu. Ia menghela napas pelan lantas berujar.

“Dalam cerita itu, aku bercerita tentang seorang wanita yang suka sesama jenis. Sebenarnya, ada yang memintaku untuk membuat cerita itu untuk kepentingan pribadi. Namun, tiga hari setelah cerita itu selesai kubuat dan telah kuberikan pada yang meminta, tiba-tiba saja cerita itu sudah menyebar luas. Dan lebih parahnya lagi, sebab kecerobohanku, aku menamai tokoh utama dalam cerita itu dengan nama Nissa. Tapi, untungnya dia mengerti padaku.” Ungkapnya. Lelaki itu hanya mengangguk-angguk mendengarnya.

Oh, ternyata karena cerita yang itu, Tuan? Sekarang, aku sudah tahu penyebab sikapnya berubah kepadaku. Tapi menurutku ia tak sepenuhnya salah. Sebab ia mempunyai kebebasan dalam berekspresi apalagi dalam karya sastra. Namun salahnya, saat menulis cerita itu ia tak mendengarkan bisikan hati nuraninya. Bisikan nurani itulah yang akan menjadi pembimbingnya untuk menghasilkan karya sastra dengan penuh tanggung jawab. Kebebasan berekspresi bukan hanya monopoli baginya, tetapi juga bagi seluruh khalayak ramai dalam suatu budaya, agama maupun negara. Dia sepatutnya tidak melepas diri dari relasinya dengan kehidupan masyarakat di mana ia hidup. Ia masih harus berhadapan dengan masyarakat pembaca yang bersifat fluktuatif, tergantung pada masyarakatnya. Maka, wajar bila para penulis harus dituntut tidak hanya menuntut bebas dalam berkarya, tetapi juga dituntut tanggung jawabnya pada masyarakat pembaca yang kullu ra’sin ra’yun (setiap kepala beda interpretasinya).

“Oh, jadi begitu, dan kamu ingin berhenti menulis cuma gara-gara itu, Bung?” tanya lelaki itu.

“Ayolah! Menulislah lagi! Tapi ke belakang harus hati-hati!”

Majikanku diam menimbang cukup lama. Berdebar aku menanti jawaban darinya, jika ia mengangguk, maka rinduku akan terobati pada sahabatku. Jika menggeleng, maka musnahlah harapanku.

“Bagaimana?” desak laki-laki itu. Aku semakin berdebar menanti sebuah harapan yang telah membelukar dalam jiwa. Kulihat, majikanku masih bungkam tak bersuara sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Iya, aku akan menulis lagi!” putusnya kemudian.

O, betapa bahagianya aku mendengar jawaban majikanku itu. Seamsal bahagianya seorang ibu yang tiba-tiba mendengar kabar bahwa anaknya hidup lagi setelah beberapa hari mati suri. Akhirnya, penantianku tidak sia-sia, sebentar lagi aku akan bertemu dan bermain lagi dengan sahabatku.

“Semangat!” kata lelaki itu seraya menepuk pundak majikanku itu.

“Siap!” balas majikanku sambil tersenyum lalu beranjak menuju lemari kecil itu, ia mengambil sesuatu.

Terbelalak mataku, berdebar dadaku, tersenyum bibirku setelah melihat majikanku itu mengeluarkan sahabatku dari dalam lemari lalu berjalan ke arahku dan kemudian mengambilku.

“Terima kasih, Tuan!” ucapku. Namun, ia tak mendengarku, dan memang ia tak pernah mendengarku. Lantas ia meletakkanku dan sahabatku di pangkuannya.

“Aku sungguh merindukanmu, Buku!” utaraku penuh perasaan.

“Aku juga merindukanmu, Pena!” balas Buku, Sahabatku.

Lapa Laok, 25 April 2022

*Santri Aktif PP. Annuqayah Lubangsa

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Redaksi
Redaksihttps://pcnusumenep.or.id
Website resmi Nahdlatul Ulama Sumenep, menyajikan informasi tentang Nahdlatul Ulama dan keislaman di seluruh Sumenep.
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

3
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...