Nahdliyin mengenal KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai muassis NU, pahlawan nasional, pendiri Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar, dan Tashwirul Afkar. Beliau juga merupakan tokoh yang berani menyuarakan kemerdekaan bermazhab pada Raja Saudi Arabia dan meminta untuk mengurungkan niatnya membulldozer (membongkar) makam Nabi Muhammad SAW di Makkah (Komite Hijaz).
Sebelum nama Mbah Wahab dikenal khalayak luas, oleh gurunya Syakhona Muhammad Khalil Bangkalan diteriaki macan dan dikejar-kejar oleh santrinya saat pertama kali masuk pesantren. Hari berikutnya, beliau mendapat perlakuan yang sama, yakni diusir beramai-ramai oleh santri Mbah Kholil. Ketiga kalinya, beliau tidur di bawah kentongan dekat mushala pesantren, hingga tengah malam Mbah Kholil membangunkan dan memarahinya hingga beliau diterima sebagai santrinya.
Dari kisah tersebut menyimpan isyarat langit sehingga KH Abdul Wahab Chasbullah dikenal macan yang perkasa, cerdas, dan disegani di internal NU maupun eksternal NU, termasuk juga di kalangan kawan maupun lawan.
Keperkasaan tersebut terbukti saat Indonesia merdeka. Di mana batas teritorial (wilayah) Indonesia yang ditetapkan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Mei 1945, yaitu bekas wilayah jajahan Belanda dari Sabang sampai Merauke. Hanya saja saat itu, Irian Barat masih diduduki Belanda. Sedangkan wakil Irian Barat selalu disertakan dalam berbagai sidang penting, termasuk menjadi utusan dalam Konstituante 1956.
Berangkat dari desakan masyarakat, Presiden RI Soekarno mengahadap Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Wahab Chasbullah yang saat itu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Sedangkan DPA adalah presiden sendiri sehingga keduanya bisa berinteraksi. (Lihat Fragmen Sejarah NU Menyambung Akar Budaya Nusantara)
Atas saran Mbah Wahab, dikumandangkanlah Tri Komando Rakyat (Trikora) 1961 untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda. Atas saran beliau, banyak ribuan sukarelawan, kaum santri begerak dan turun di front depan bersama Tentara Negara Indonesia (TNI). Dengan kekuatan pasukan tempur yang sudah modern dan disertai semangat juang yang tinggi, akhirnya Irian Barat terbebas dari jajahan Belanda pada bulan Oktober 1962.
Pasca pembebasan Irian Barat dan menjadikannya sebagai bagian dari Indonesia, Presiden RI Soekarno menyatakan dalam pidatonya di Muktamar ke-23 di Surakarta, Solo bahwa keberhasilan dalam mengembalikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, berkat kontribusi besar NU. Pasalnya banyak kalangan santri yang turun langsung membantu TNI yang dilengkapi dengan senjata modern.
Diri kisah heroik muassis dan kaum sarungan yang lama tertutup debu, KH Abdul Mun’im DZ membongkar dalam penelitian yang cukup panjang agar khalayak tau bahwa kiai dan santri memiliki peran besar terhadap pembebasan Irian Barat. Guna mensyukuri dan mengantisipasi gencatan bersenjata, KH Abd Wahab Chasbullah menyarankan pada Presiden dengan istilah Diplomasi Catut Tali Wondo. Artinya, upaya menggalang kekuatan lahir dan batin di segalanya bidang. Hal ini disarankan guna membangkitkan semangat nasionalisme pada seluruh warga agar sewaktu-waktu siaga di saat genting.