spot_img
Categories:

Al-Hikam, Kitab dengan Sejuta Kalimat Kebijaksanaan

- Advertisement -

Judul              : Al-Hikam Ibnu Atha’illah As-Sakandari
Penulis           : Ibnu Athaillah As-Sakandari
Penerbit         : Turos Pustaka
Cetakan          : Februari, 2021
Tebal              : 506 halaman
ISBN               : 978-623-732-72-33

Kisah kebijaksanaan dari ulama kuno akan senantiasa menjadi teladan sepanjang masa.  Tidak hanya sekadar menghadirkan kisah teladan, tetapi kebijaksanaan dari ulama’ kuno memiliki untaian hikmah dari kata-katanya yang merasuk dan meresap ke dalam jantung sehingga menjadi pelajaran penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana terdapat di dalam buku terjemahan kitab al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari yang diterbitkan oleh Penerbit Turos Pustaka ini.

Membaca buku terjemahan ini seakan menghadirkan hipnotis bagi pembaca karena mutiara kata-kata yang mendalam di dalamnya. Selain itu, buku terjemahan ini senantiasa menjadi evaluasi terhadap perbuatan  manusia dalam ibadah spiritual dan sosialnya selama ini. Ibnu Athaillah menyarankan kepada seorang hamba agar tidak memiliki ketergantungan kepada sesuatu selain Allah, termasuk bergantung kepada amal ibadah yang sudah dilakukannya. Artinya, manusia tidak boleh mengandalkan amal perbuatannya (hal. 03).

- Advertisement -

Buku setebal 506 halaman  ini menghadirkan satu gagasan penting agar manusia bersikap bijaksana dalam segala perbuatan yang dilakukan. Artinya, antara kehidupan duniawi dan ukhrawi harus sama-sama diseimbangkan. Contohnya, dalam usaha menggapai hal-hal duniawi, Ibnu Athaillah memberikan pertimbangan agar tidak mengerahkan daya dan upaya terhadap sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah yaitu rezeki dan karunia-Nya. Allah tidak melarang seorang hamba mencari rezeki hanya sekadarnya saja dan tanpa kegigihan karena hal tersebut tidak menyebabkan buta mata hatinya (hal. 10). Oleh sebab itulah, melihat realitas yang terjadi di zaman modern ini bahwa mayoritas manusia terlalu sibuk mengejar dunia sehingga lupa akan kehidupan akhirat bahkan menjadikan buta mata hatinya.

Lebih lanjut, Ibnu Athaillah memberikan perumpamaan tentang pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan amal perbuatan dalam kehidupan sehari hari. Ibnu Athaillah mengibaratkan amal sebagai jasad yang tidak bernyawa sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup meskipun keikhlasan setiap orang itu berbeda-beda (hal. 19). Karenanya, keikhlasan harus menjadi landasan dalam setiap perbuatan manusia di dunia agar perbuatan yang dilakukan bernilai di sisi Allah.

Kebijaksanaan lain yang menjadi pertimbangan dalam menjalani kehidupan sehari-sehari adalah bagaimana seorang hamba menjaga kejernihan hatinya dalam segala hal. Disebutkan dalam buku ini bahwa tanda-tanda orang mati hatinya adalah tidak adanya  perasaan sedih atas ketaatan yang telah dilewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas kesalahan yang sudah dilakukan (hal. 92). Karena bisa dipastikan orang tidak pernah merasa bersedih karena tidak melakukan satu ketaatan yang sudah biasa dilakukannya, maka bisa dipastikan hati orang tersebut masih bernoda. Apalagi tidak pernah ada perasaan menyesal sedikitpun dalam hatinya atas perbuatan yang sudah dilakukannya. Sarannya giatlah dalam beramal shaleh dan jangan malas.

Dalam persoalan kenikmatan, Ibnu Athaillah menyarankan agar nikmat yang melimpah yang sudah diberikan tuhan kepada manusia bisa membuat seorang hamba menjadi lalai dalam menunaikan kewajiban bersyukur karena hal tersebut dalam merendahkan diri seorang hamba. Akibatnya orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala mendatanginya maka akan sadar tatkala sudah lepas dari dirinya (hal.301). Dari itulah, seorang hamba dalam kehidupan kesehariannya hendaknya tidak mengikuti nafsu (keinginan-kenginan) yang berlebihan karena kelezatan hawa nafsu yang sudah bersarang di kalbu merupakan penyakit kronis. Artinya, sulit diobati dan bahkan tidak bisa disembuhkan.

Manusia adalah seorang hamba yang berpikir. Tafakkur adalah lentera hati. Jika lenyap, maka hati juga akan gelap. Ibnu Athaillah di dalam buku ini membagi tafakkur menjadi dua bagian. Pertama, tafakkur yang timbul dari pembenaran atau iman. Kedua, tafakkur yang timbul dari penyaksian atau penglihatan. Yang pertama milik mereka yang bisa mengambil pelajaran. Sedangkan yang kedua milik mereka yang menyaksikan dan melihat dengan mata hati (hal.409).

Sebagai hamba Allah, manusia harus bijaksana terhadap ketentuan yang sudah tuhan tentukan. Karena, mungkin saja hari ini tuhan tidak mengabulkan satu permintaan atau keinginan yang sudah direncanakan dalam diri seorang hamba. Tetapi justru ketentuan tuhan tersebut menjadi sesuatu yang terbaik dikemudian hari bagi seorang hamba, termasuk dalam persoalan nikmat. Sebab, di antara bentuk kesempurnaan nikmat atas manusia adalah ketika tuhan memberi sesuatu yang mencukupi dan menahan dari segala sesuatu yang akan mencelakakannya.

- Advertisement -

*Abdul Warits, Penulis lepas, lahir di Grujugan Gapura, Sumenep.Mahasiswa Pascasarjana Program Pendidikan Agama Islam Studi Kepesantrenan Instika, Guluk-guluk, Sumenep.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...