Dalam setiap tradisi kematian, terdapat sisi moralitas yang mengurangi kesedihan terhadap keluarga duka. Jika salah satu keluarga tertimpa musibah kematian, pihak keluarga duka tidak perkenankan mempersiapkan segala kebutuhan. Di dalam tradisi ini terdapat gotong royong yang dilakukan sanak famili, tetangga dan masyarakat setempat.
Keluarga duka tugasnya hanya menemui tamu. Sedangkan di belakang layar, banyak sanak famili, tetangga dan masyarakat membantu menyiapkan proses penguburan. Seperti menyiapkan pemandian jenazah, keranda, kain kafan, membuat kue, menggali kuburan, dan lain sebagainya.
Sisi positif dari tradisi ini adalah adanya interaksi dan komunikasi yang baik antarsesama. Bentuk kerjasama dan kehadirannya ke rumah duka bagian dari tanggung jawab atau kewajiban dari sekolomok sosial masyarakat.
Secara personal, famili, tetangga, sahabat, rekan sejawat, kolega dan siapa pun yang memiliki kedekatan akan berada di sampingnya. Entah sebelum ajal menjemput (mengelilingi di ranjang) atau pun saat jenazah di kebumikan.
Kematian orang dicintainya, tersimpan kenangan tentang segala hal yang dilakukannya sewaktu masih hidup. Terkadang, orang yang mengenal dekat sosok almarhum akan menceritakan segala kebaikan yang diperbuat samasa masih sehat. Semuanya tergantung pada amal baiknya. Jika pernah berbuat kesalahan, kadang pula diperbincangkan oleh masyarakat. Pada intinya, kebaikan dan keburukan tetap saja dibicarakan walaupun sudah ada di liang lahat.
Kesedihan akan diluapkan oleh sanak famili dengan cuti bekerja selama 7 hari sebagai bentuk persembahan terakhir. Bersama kerabat, tetangga dan masyarakat, bersama-sama mendoakan ahli kubur agar amal dan ibadahnya diterima di sisi-Nya.
Semua orang terdekat ikut bersedih. Bahkan kerabat yang ada di Jakarta, Kalimatan atau luar Madura akan pulang kampung untuk mengungkapkan bela sungkawa. Tak heran, saat 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1.000 hari kematian, mereka berkumpul bersama untuk mendoakan ahli kubur.
Selain mempererat ukhuwah antarsesama, peringatan Haul yang biasa digelar oleh Nahdliyin, terdapat makna yang tersembunyi, yakni jenazah di alam kubur megalami perubahan fisik. Dari sinilah masyarakat meyakini sebagai kontruksi kultural divisualisasikan sebagai proses perubahan untuk mencapai proses penyucian.
Dengan demikian, ikut berduka saat tetangga wafat, bagian dari koridor moral yang ditetapkan oleh agama. Karena setiap insan akan melakukan migrasi dari bumi menuju Allah.