spot_img
Categories:

Karakteristik Kitab Kuning dan Kitab Putih ala Kiai Sumenep

- Advertisement -

Buku terbitan LKiS merupakan buku keenam dalam seri Partnership in Islamic Education Scheme (PIES) yang menyajikan penelitian muktahir tentang beragam aspek Islam di Indonesia. Rangkaian penelitian sangat erat dengan masalah-masalah kontemporer. Baik soal hukum Islam, identitas, budaya, dan pernikahan. Buku ini menjadi bukti sahih ketekunan para penulis sehingga memberikan dampak pada pengembangan akademik.

Dalam buku ini, ada 6 hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Mereka adalah Ade Yamin dengan judul ‘Islam Sumber Kebanggaan: Dialektika Agama, Budaya dan Politik Komunitas Dani di Papua’; Mufliha Wijayati dengan judul ‘Punishing Women: Diskriminasi terhadap Perempuan yang Mengajukan Cerai di Peradilan Agama Indonesia’; Nikmatullah dengan judul ‘Hak-Hak Perempuan dalam Perkawinan: Interpretasi Tuan Guru tentang Hadits Pernikahan dan Agensi Perempuan Sasak Lombok’; Norman Ohira dengan judul ‘Ungkapan ke-Melayuan dalam Teks Melayu 1500-1800 di Selat Malaka’; Zulfatun Ni’mah dengan judul ‘Perceraian Sepihak: Diskriminasi terhadap Perempuan yang Diwajarkan’.

Berbeda dengan miliknya Damanhuri yang berjudul ‘Kitab-Kiai Madura: Kuasa Teks dan Otoritas Keagamaan’. Penelitian ini unik, karena hasil penelitiannya memberikan hikmah pada santri dan warga NU agar mempertahankan dan mempelajarinya kepada guru yang tepat. Kitab dan Kiai merupakan ciri khas Indonesia yang saat ini menjadi rujukan dan benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi seorang tokoh kunci dalam suatu wilayah, maka seseorang harus bersusah payah guna mempelajari kitab. Tidak seperti kitab-kitab modern saat ini.

- Advertisement -

Peneliti menegaskan bahwa, untuk menamai sebuah karya kesarjanaan Islam di abad Pertengahan adalah ditulis di atas kertas, umumnya berwarna kuning. Orang menamainya kitab gundul, kitab kuno, dan kitab klasik. Karena dari segi penyajiannya sangat sederhana dan tidak mengenal tanda-tanda bacaan seperti syakl (harakat), titik koma, tanda tanya, dan sebagainya.

Pergeseran dari satu sub topik ke sub topik yang lain tidak menggunakan alinea baru, tapi pasal-pasal atau kode sejenis seperti tatimmah, muhimmah, tanbih, far’, dan lainnya. Ciri lainnya adalah penjilidan kitab ini biasanya dengan sistem korasan (karasah). Di mana lembarannya dapat dipisah-pisahkan sehingga menjadi portable tanpa harus membawa semua tubuh kitab yang bisa beratus-ratus halaman.

Di halaman 56, kitab kuning yang ditulis semenjak abad ke-10 hingga abad ke-15, selalu dijadikan rujukan oleh kiai, santri dan masyarakat. Walaupun tanpa harakat, mereka mengharakatinya dengan Arab pegon atau bahasa lokal karena dianggap menambah nilai kehormatan dan kesakralan.

Tak ayal, ilmuwan mengatakan, tradisi penulisan kitab kuning adalah tradisi Islam tradisional yang menggunakan pola taklid (wawasan keislaman berasal dari ulama generasi sebelumnya) untuk melahirkan otoritas bagi kalangan pemimpin muslim Indonesia. Juga merupakan bentuk kepatuhan pada guru yang berakar dalam pembelajaran pesantren. Siapa saja yang menguasai kitab kuning, maka dianggap prasyarat untuk diakui sebagai seorang ulama.

Gambaran di atas menjadi bagian penting yang menandakan bahwa, keberadaan kitab kuning menjadi trade mark bagi keilmuan Islam tradisional yang kedudukannya dianggap sebagai pelengkap dengan keberadaan seorang kiai. Di dalam sosial kemasyarakatan, posisi kiai sebagai personifikasi utuh dari sistem tata nilai tersebut. Sehingga keduanya (kitab dan kiai) tak bisa dipisahkan.

Seorang kiai dapat diakui ketikan benar-benar memahami dan mendalami isi ajaran yang ada di dalam kitab kuning dan mengamalkannya. Untuk memenuhi prasyarat ini, maka ulama harus memiliki sanad keilmuan yang mutawatir dengan generasi sebelumnya. Pola inilah dijadikan pijakan oleh kalangan tradisionalis Islam dalam menjaga dan mendisiplinkan sistem pengetahuan jam’iyahnya dengan cara diberlakukan sistem otentikasi sanad keilmuan dari hulu hingga hilir.

- Advertisement -

Buku ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an dan hadits sebagai muara utama umat Islam sulit dibaca secara telanjang. Sehingga ulama yang ahli di bidang ilmu tata bahasa (ahli turats) mengerahkan pengetahuannya untuk menerjemahkan, menjelaskan dan menafsirkan pesan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW agar mudah dipahami oleh warga. Upaya itu dilakukan demi menangkis kekeliruan saat umat (awam) memahami pesan wahyu tersebut, juga membedakan sanad dan matan hadits.

Buku ini sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini, agar warga tidak mudah menjatuhkan vonis kafir, syirik, kafir, bid’ah, dan sejenisnya. Karena yang dikatakan pemuka agama atau penerus nabi adalah mereka yang menguasai pengetahuan yang sempurna dalam bidang agama. Mereka disebut ulama, atau dalam tradisi lokal dipanggil syekh, kiai, tuan guru, ajengan, dan lainnya.

Hakikatnya, otoritas keagamaan berdasarkan pada sanad keilmuan. Mereka dianggap mumpuni dalam memahami, menjelaskan, dan menafsir teks agama. Proses konstruksi otoritas keagamaan bersumber dari teks ini yang menguatkan argumentasi bahwa peradaban Islam sebenarnya adalah teks. Kiai-kiai berpengaruh di Indonesia dipastikan mengakses teks itu dengan baik. Mulai dari Syekh Nawawi Banten, Mahfudz at-Tarmasi, Syaikhona Muhammad Kholil, KH R Asnawi Kudus, dan KH M Hasyim Asy’ari. Para kiai ini dikenal intelektual pesantren yang memiliki pengaruh kuat hingga saat ini. Hingga pada akhirnya keberadaan komunitas teks membentuk jaringan keilmuan, kekerabatan, dan pesantren.

Berdasarkan data tahun 2017, kitab kiai di Sumenep mencapai angka 194 buah, ditulis oleh 15 kiai yang memiliki pesantren, baik dalam kategori besar atau kecil. Produktivitas ini sangat fantastis, karena memunculkan tema-tema baru dan sangat beragam, seperti fikih, akhlak, tasawuf, gramatika, tafsir, hadits, tarikh dan lainnya. Bahkan isu-isu sensitif juga dinaikkan, misalnya radikalisme, terorisme, dan pemikiran pendidikan pesantren. Untuk tipe ini mengambil bentuk kitab putih dengan standar penulisan ilmiah layaknya dunia akademis.

Buku ini pun berusaha mengorek tentang keunikan dari kitab putih, yakni ditulis dengan empat bahasa, yaitu Arab, Indonesia, Madura, dan Jawa. Di Sumenep menggunakan bahasa Arab, kemudian Indonesia. Selain itu, terdapat kombinasi antara Arab dan Madura atau Arab dan Jawa, bahkan Arab dan Indonesia. Pemilihan ini terkait dengan para pembaca yang berasal dari beberapa kalangan; santri, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum.

- Advertisement -

Melengkapi penjelasan di atas, penggunaan bahasa Arab itu lebih banyak dipakai pada topik fikih, teologi, tafsir, hadits, manaqib, dan doa. Sementara bahasa Indonesia lebih dominan pada topik pendidikan, pesantren, pemikiran keagamaan, gramatika, akhlak, sejarah, tasawuf, dan khutbah. Bahasa Madura dan Jawa sebagai pelengkap. Karakteristik lainnya dalam kitab kiai Sumenep adalah ditulis dalam lima bentuk karya, yaitu karya asli, terjemahan, syarah (komentar), mukhtasar (ringkasan), dan nukilan. Terhitung ada 160 karya asli. Terjemahan kitab dari Arab ke Indonesia atau Madura berjumlah 17 kitab. Syarah atau komentar terhadap kitab ulama sebelumnya yang ditulis dalam bahasa Arab, Madura (Arab pegon) dan Jawa berjumlah 9 kitab. Nukilan atau kitab yang hanya mengutip pernyataan atau kata-kata mutiara berjumlah 4 kitab. Untuk mukhtasar atau ringkasan berjumlah 3 kitab.

Selanjutnya, format penulisan menggunakan tulisan Latin dan Arab. Pada beberapa kitab, penulisan meniru model kitab kuning yang tidak ada tanda baca, tidak berharakat (syakl). Beberapa lainnya menggunakan bahasa Indonesia yang berbentuk buku ilmiah. Lainnya berbentuk karangan lepas.

Identitas Buku
Judul: Islam Indonesia; Dialektika Agama, Budaya dan Gender
Penulis: Ade Yamin, Damanhuri, Mufliha Wijayati, Nikmatullah, Norman
Ohira, Zulfatun Ni’mah
Editor: Damanhuri
Penerbit: LKiS
Tahun Terbit: 2020
Tebal: 295
ISBN: 978-623-7177-46-3
Peresensi: Firdausi, Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama
(LTN NU) Sumenep

- Advertisement -

1 KOMENTAR

  1. Нelⅼo, i think that i saw you visited my wеbsite thus
    i cɑme to “return the faᴠor”.I’m attempting to fіnd
    things to improve my website!I sսppose its ⲟk to use some of your ideas!!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...