spot_img
Categories:

Bolehkah Mengucapkan Salam Pancasila?

- Advertisement -

Buku yang ditulis oleh asisten dosen di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta, berawal dari kegaduhan di media sosial yang memelintir Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia (BPIP RI). Ia dikira mengubah salam keagamaan menjadi ‘Salam Pancasila’. Untuk mempraktikkan salam tersebut, tangan diangkat ke atas, tepatnya di atas pundak dan seluruh jari melekat. Maknanya, antara Sila Kesatu dan Sila yang lainnya tidak terpisahkan.

Berdasarkan hasil interview, buku yang membahas sosialisasi Salam Pancasila ini menegaskan bahwa salam tersebut sebagai salam pemersatu bangsa, tanpa mengenal perbedaan agama, suku, dan tradisi kedaerahan. Salam itu digunakan di ruang publik yang audiensnya terdiri dari berbagai agama. Sementara Assalamu’alaikum tetap digunakan ketika lawan bicaranya satu agama yang sama.

Tak hanya itu, buku ini menjelaskan, Salam Pancasila dapat dianalogikan dengan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan. Atas dasar ini dapat dipandang sebagai salam kebangsaan bagi seluruh warga Indonesia.

- Advertisement -

Tenaga Ahli Pengembangan Kapasitas Program Inovasi Desa ini menghadirkan tujuh pertanyaan tentang perlunya salam kebangsaan di ranah public service. Pertama, mengapa Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri yang juga sebagai Dewan Pengarah BPIP RI memperkenalkan Salam Pancasila pada tahun 2017 di acara program penguatan pendidikan Pancasila di Istana Presiden, Bogor, Jawa Barat?. Kedua, mengapa di awal kemerdekaan, Presiden RI ke-1, Soekarno mensosialisasikan ‘Salam Merdeka’ melalui Maklumat 31 Agustus 1945 hingga akhirnya memompa semangat rakyat agar bangkit dari penindasan penjajah?.

Ketiga, mengapa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4 mengusulkan ‘Selamat Pagi atau Apa Kabar’ di ruang publik?. Keempat, mengapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) Daoed Joesoef enggan menggunakan salam keagamaan ketika menyambut menteri. Padahal ia seorang muslim dari Aceh?.

Kelima, di mana posisi BPIP Yudian Wahyudi dalam sejarah pengusul salam kebangsaan ini? Keenam, benarkah Kepala BPIP mengusulkan penggantian Assalamu’alaikum dengan Salam Pancasila dan ibadah mahdhah? Ketujuh, kontribusi positif pro-kontra Salam Pancasila ini bagi kemajuan Indonesia di masa depan?

Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, buku yang ditulis oleh Khoirul Anam menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif analitis yang dilengkapi dengan teori-teori sosiologi, antropologi, filsafat, dan ushul fiqh sebagai pendekatan maqashid syariah. Dari sinilah buku ini tersusun dengan memuat beberapa bab, antara lain: urgensi Salam Pancasila; siapa tidak kenal Yudian Wahyudi; hukum mengucapkan salam kepada non muslim menurut Islam; kontroversi Salam Pancasila yang terdiri dari tanggapan berbasis agama, politik, akademis dan Kepala BPIP; terakhir penutup.

Pada bab III, penulis menerangkan, mengucapkan salam kepada sesama manusia bukanlah masalah yang pokok ajaran agama (ushuliyah), tetapi furu’iyah. Di kalangan umat Islam terdapat dua kelompok yang berbeda soal salam ini, yakni kelompok Islam modernis-progresif versus Islam tradisionalis-konservatif.

Bagi kelompok Islam modernis-progresif, nash bersifat ta’aqulli, sehingga memerlukan penalaran rasional. Implikasinya adalah nash tidak bisa mengatur kehidupan secara total, karena yang terpenting bukanlah ketentuan teknis dalam bunyi harfiah, melainkan prinsip moral universal yang tertuang dalam maqashid syariah. Akal mempunyai peran utama, sehingga tafsir kontekstual menjadi urgen, karena nash selalu merupakan nash yang ditafsirkan, padahal tafsir selalu relatif dengan tanpa mengkultuskan pemikiran.

- Advertisement -

Pandangan mereka berpijak pada penggunaan pendekatan modern-ilmiah seperti filsafat hermeneutika dan semiotika. Bagi mereka masalah salam adalah masalah ijtihadi yang bisa berubah setiap saat dikarenakan perubahan kausa, ruang, waktu, situasi, kondisi, termasuk redaksi salamnya, karena yang terpenting adalah substansinya, yaitu mendoakan.

Berbeda dengan Islam tradisionalis-konservatif yang menyadarkan kebenaran pada makna tekstual tanpa melihat konteks historis, antropologis, sosiologis, dan filosofis. Ciri dari kelompok ini adalah argumentasinya harus jelas diambil dari Al-Qur’an dan hadits; penggunaan ratio harus sesuai dengan nash-nash yang shahih; dalam konteks akidah harus disandarkan pada nash. Kelompok ini memandang bahwa Al-Qur’an sebagai satu-satunya ta’abbudi, sehingga dalam memahaminya harus menggunakan pendekatan harfiah. Implikasinya adalah Islam bersifat total mengatur kehidupan privat dan publik.

Jika dihubungkan dengan Salam Pancasila, buku tersebut menjelaskan bahwa hukum mengucapkan salam kepada sesama muslim adalah sunnah (nafilah). Hukum ini didasarkan pada dalil Al-Qur’an dan hadits shahih, tetapi hukum menjawab salam adalah wajib menurut ijma ulama. Anjuran ini agar orang lain merasa dihormati, dihargai dan didoakan. Namun perbedaan baru muncul ketika terkait dengan hukum mengucapkan salam pada non muslim.

Ulama yang melarang mendasarkan pada hadits “Jangan mulai bersalam kepada Yahudi dan Nasrani. Bila bertemu di jalan, persempit ruang geraknya.” Hadits itu jika dilihat dalam konteks sababul wurudnya, dinyatakan dalam situasi perang (umat Islam mengepung Bani Quraizhah).

Dalam kondisi normal, Rasulullah menunjukkan keramahannya pada non muslim, seperti memberi hadiah, mengunjungi orang sakit, menerima undangan makan. Oleh karena itu, ulama salafus shalih memperbolehkan mengucapkan salam pada non muslim. Karena nabi pernah mengucapkan salam pada sekumpulan orang yang terdiri dari orang Yahudi. Dengan ini, maka hukum mengucapkan salam pada non muslim terjadi khilafiah di kalangan ulama (ta’arudul adillah).

- Advertisement -

Berangkat dari fenomena ini, penulis memetakkan hukum mengucapkan salam bila terjadi antara muslim dan non muslim. Pertama, bila yang mendahului salam dari kalangan non muslim, maka dijawab wa’alaikum salam. Tidak boleh ditambah kalimat wa rahmatullahi wa barakatuh. Atau cukup dijawab wa ‘alaihi. Hal ini mengantisipasi niatan negatif. Kedua, bila muslim mendahului salam pada non muslim, maka memulai salam pada mereka dengan sopan santun, yakni assalamu’ alaika (lafaz mufrad/tunggal). Tidak boleh menggunakan lafaz jamak (‘alaikum).

Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan keramahannya, mengucapkan salam menjadi tradisi yang tidak lekang oleh zaman. Dari sinilah Salam Pancasila dicetuskan, karena pengucapan salam disesuaikan dengan konteks, ruang, dan waktu. Kemudian, nilai universal ajaran mengucapkan salam kepada semua makhluk adalah sunnah, tetapi redaksi dan cara pengucapannya. Sunnah artinya perbuatan tersebut akan mendatangkan maslahat (pahala) jika dilakukan. Dan tidak mengandung mudharat jika tidak dilaksanakan.

Dengan demikian, Salam Pancasila didasari pada kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini perlu disikapi agar kerukunan dan toleransi antar umat beragama bisa terjaga. Pembumian dan sosialisasi Pancasila memang perlu diperkuat dengan argumen teologis, sehingga warga Indonesia yang nasionalis dan religius dengan mudah menerima nilai-nilainya sebagai bagian dari keimanan mereka, sebagaimana yang terkandung dalam Mars Syubbanul Wathan, ciptaan Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah.

Data Buku

Judul : Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan: Memahami Pemikiran Kepala BPIP RI Prof. Drs. KH Yudian Wahyudi, MA, Ph.D
Penulis : Khoirul Anam
Editor : Heri Kuswanto
Penerbit : Suka Press Yogyakarta
Tahun Terbit : Desember 2021
Tebal : 141 halaman
ISBN : 978-623-7816-39-3
Peresensi : Firdausi, Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Sumenep

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...