spot_img
Categories:

Menilik Tradisi Aqiqah di Madura

- Advertisement -

Oleh: Lukmanul Hakim

Sebagaimana yang dlihat hari ini, mengadakan acara aqiqah anak sudah menjadi tradisi yang berkembang sangat pesat. Ada yang merayakannya seperti acara pernikahan dan khitanan dengan melibatkan masyarakat lain.

Apakah aqiqah seperti ini pernah dilakukan oleh orang terdahulu, atau hanya sebuah kebudayaan baru yang dilahirkan pada zaman milenial ini. Apakah boleh merayakan aqiqah dengan melibatkan orang lain, kemudian orang tersebut membawa amplop dan beras sebagai buah tangannya. Pada tulisan ini, penulis mencoba menceritakan tradisi atau kebudayaan yang berlangsung di Madura tentang pelaksanaan aqiqah tersebut.

Kelahiran dan kematian sudah hal yang pasti di dunia ini, di saat ada orang yang lahir ke bumi ini, seketika itu pula ada yang meninggal. Kelahiran seorang anak betul-betul ditunggu oleh kedua orang tuanya dengan mempersiapkan segala kebutuhan anaknya, ada yang mempersiapakn biaya persalinan, biaya beli ayunan, biaya upacara turun mandi, dan yang paling penting mempersiapkan biaya untuk aqiqah si bayi.

Aqiqah adalah pengurbanan hewan dalam syariat Islam, sebagai bentuk rasa syukur umat Islam terhadap Allah SWT mengenai bayi yang dilahirkan. Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunah muakkad. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

Sejarah pelaksanaan aqiqah dengan penyembelihan seekor hewan sebagai bagian dari upacara kelahiran seorang anak sudah ada semenjak zaman jahiliyah, namun pelaksanaanya sudah tentu berbeda dengan apa yang telah dituntun oleh Rasulullah SAW.

Sahabat Buraida berkata bahwa dahulu pada zaman jahiliyah jika salah satu diantara mereka memiliki anak, maka orang itu akan menyembelih kambing dan melumuri kepala bayi dengan darah kambing tersebut.

أَبِي بُرَيْدَةَ يَقُولُ كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ

Artnya: “Dari Buraidah ia berkata, ‘Pada zaman jahiliyah, ketika di antara kami ada yang melahirkan anak, kami akan menyembelih satu ekor kambing, lalu kepala si bayi dioleskan dengan darah kambing tersebut. Namun ketika Islam datang kami menyembelih satu kambing, mencukur rambut bayi, dan mengoleskan minyak za’faran pada kepala bayi’.” (Sunan Abu Daud, Nomor 2843).

Wujud dari rasa syukur dengan kedatangan si buah hati yang dinanti-nanti, maka diadakan acara aqiqah. Sebelum pelaksanaan akikah, posisi anak masih dalam kondisi tergadai. Untuk melepaskan gadaian itu orang tuanya harus mengaqiqahkanya sebagaimana yang terdapat dalam Sunan Abu Daud sebagai berikut.

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Artinya: “Dari Samurah bin Jundub, Rasulullah bersabda, ‘Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan dicukur rambut kepalanya, serta diberi nama’.” (Sunan Abu Daud, Nomor 2838).

Hadits di atas juga diperkuat dengan hadits yang terdapat dalam Sunan Nasai.

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَطَاءٍ وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِدٍ عَنْ أُمِّ كُرْزٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَفِي الْجَارِيَةِ شَاةٌ

Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman, ia berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Affan, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Hammad dari Qais bin Sa’d dari ‘Atho’ dan Thawus serta Mujahid dari Ummi Kurz bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai aqiqah seorang anak laki-laki: ‘Dua ekor kambing yang sama, sedang untuk seorang anak perempuan adalah seekor kambing’.” (Sunan Nasai, Nomor 4144).

Dua dalil di atas menjelaskan tentang waktu pelasanaan aqiqah pada hari ke tujuh, Hal ini disepakati oleh ulama Hanafiah dan Malikiyah. Waktu yang utama dalam aqiqah adalah hari ke-7, namun menurut ulama Hambali boleh akikah pada hari ke-14, ke-21, dan seterusnya.

Tradisi di Madura, sebelum acara aqiqah ini dimulai, maka terlebih dahulu orang tua akan memberitahukan kepada famili baik yang dekat maupun yang jauh, serta kepada masyarakat yang satu desa dengannya.

Sebelum pelaksanaan aqiqah, juga diadakan penyembelihan kambing untuk anak laki-laki 2 ekor dan anak perempuan 1 ekor. Penyembelihan hewan ini dilakukan oleh orang yang bergelar kiai, tokoh masyarakat, ustadz yang memang paham di bidang keagamaan tersebut. Tidaklah dibenarkan ayah atau pihak keluarga si anak yang menyembelihnya.

Orang yang menyembelih ini, nanti dialah yang berhak membaca doa aqiqah si anak, selesai berdoa nanti juga harus mengatar cawan berisi beras, uang, dan gula sebagai doa aqiqah.

Bentuk dari acara aqiqah berupa pemotongan rambut bayi paling kurang 7 helai atau dicukur semuanya, pemberian nama yang bagus untuk si bayi. Acara yang dipimpin oleh pemuka agama (ulama) dilanjutkan dengan makan bersama dan diakhiri dengan doa aqiqah sebagai permohonan kepada Allah SWT, agar anak menjadi anak sehat dan shaleh, mudah rezekinya dan berbakti kepada kedua orang tua, agama, nusa, dan bangsa.

Rambut yang dipotong, atau dicukur tersebut kemudian ditimbang berapa beratnya dan disamakan beratnya dengan emas atau perak untuk disedekahkan. Hal ini pernah dilakukan oleh Fatimah putri Rasulullah SAW.

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ وَزَيْنَبَ وَأُمِّ كُلْثُومٍ فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَةِ ذَلِكَ فِضَّةً

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya ia berkata: ‘Fatimah puteri Rasulullah SAW pernah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum, lalu mensedekahkan perak yang sama dengan berat timbangan rambut tersebut’.” (Kitab Al-Muwatta’, Nomor 946).

Menurut Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhayyan berkata: “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”

Waktu pelaksanaan aqiqah di daerah Madura banyak memakai pendapat Hambaliyah, jika tidak bisa pada hari 7, 14, dan 21 hari, boleh pada hari seterusnya.

Pemahaman hari seterusnya ini, sampai pada usia anak sudah besar. Sehingga berkembanglah tradisi dalam masyarakat boleh pelaksanaan aqiqah saat anaknya menikah bagi anak perempuan dan saat anak khitan bagi anak laki-laki.

Dengan harapan daging kambing tersebut bisa dipakai untuk menjamu orang yang datang, satu kali merangkul dayung dua tiga pulau terlampau. Budaya ini sudah turun temurun sampai sekarang, Namun sudah ada diantara masyarakat mengubah cara aqiqah seperti ini.

Dalam kitab Minhajul Muslim karya Syaikh Jabir Al-Jazairi, beliau menjelaskan bahwasannya yang boleh menikmati menu atau daging aqiqah adalah ahlul bait, lalu daging kemudian disedekahkan dan dihadiahkan.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni memberikan penjelasan sebagai berikut. “Tata cara aqiqah seperti cara mengkonsumsinya, menghadiahkannya atau mensedekahkanya sama sebagaimana tata cara udhiyah (berqurban). ini yang dinyatakan As-Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i).”

*) Mahasiswa Prodi PAI Program Pascasarjana Instika Guluk-Guluk, Kepala Perpustakaan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk, Dewan Redaksi Jurnal Pentas Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk, Pengurus Pimpinan Ranting (PR) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Lembung Barat, dan Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk Tahun 2014-2021.


Editor : Firdausi

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...