Oleh: Moh. Fathor Rois
Dalam Islam diajarkan mengucapkan insyaallah untuk setiap kali menjanjikan sesuatu. Seperti, “Besok aku ke rumahmu insyaallah”. Atau di akhir sebuah kompolan, jamaah yang mendapat giliran bilang, “Kompolan sudah sampai pada giliran saya, semua jamaah diharap kehadirannya di rumah saya”. Semua jamaah menjawab, “Insyaallah”.
Mengapa harus bilang insyaallah? Ya, karena yang kita rencanakan belum tentu sama dengan yang dikehendaki Allah. Kita sudah mantap mau melakukan sesuatu, kalau Allah menghendakinya, maka pasti terjadi. Tetapi kalau Allah tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi. Nah, untuk kemungkinan yang kedua inilah perlunya menyediakan margin error dengan mengucapkan insya Allah.
Ada tiga kesalahan dalam penggunaan ucapan “insyaallah” di masyarakat.
Pertama, menggunakan kata pasti dalam berjanji. Itu merupakan suatu kesombongan dan meremehkan otoritas Tuhan. Karena yang akan terjadi, pada seseorang maupun pada diri sendiri, itu yang dikehendaki Allah, bukan yang dikehendaki orang lain, tidak pula yang dikehendaki diri sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, seorang pendukung Cakada (calon kepala daerah) mengundang teman-temannya dengan serius bahwa pada malam Jumat, tanggal sekian diharap kehadirannya di rumah orang itu untuk acara syukuran atas kemenangan orang yang didukungnya. Padahal waktu itu baru sekitar H-2 pencoblosan. Kenyataannya, orang yang didukungnya itu kalah. Lah, ini. Nasib buruk menimpa pribadi yang buruk.
Kedua, mengucapkan “insyaallah” sebelum ada keyakinan yang mantap dalam diri. Belum yakin dengan yang akan dilakukannya, malah bilang “insyaallah”. Contoh, ketika datang seorang calon Kades atau calon-calon yang lain minta dukungan, maka yang didatangi dengan sembrono langsung mengucapkan “insyaallah”. Bahkan sudah yakin tidak akan melakukan, malah bilang “insyaallah”. “Mari mampir ke rumah, Tadz!”. Si ustadz dengan refleks bilang, “Insyaallah”. Padahal dia memang tidak punya maksud mampir ke rumah orang itu.
Inilah hal paling kriminal yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang tidak Islam terhadap ajaran pengucapan “insyaallah”. Akibatnya, ketika seseorang menyanggupi sesuatu kepada orang lain dengan mengucapkan “insyaallah”, maka orang itu dianggap tidak mau atau tidak serius.
Jadi kebodohan yang kedua ini telah membalikkan fungsi “insyaallah” dari makna “iya” menjadi “tidak”.
Maka, kalau belum yakin, jangan bilang “insyaallah”, melainkan bilang “tidak”. Kalau dikatakan, “Artinya insyaallah itu kan; kalau Allah mau. Kalau Allah mau, walaupun saya tidak mau, kan terjadi juga?”. Secara harfiah, itu betul. Tetapi syara’ tidak menciptakan ucapan itu untuk maksud demikian.
Ketiga, mengucapkan “insyaallah” untuk sesuatu yang sudah terjadi, tetapi yang bersangkutan kurang yakin. Seperti, “Sampean lahir tanggal berapa?”. Yang ditanya menjawab, “Insyaallah 27 Juni 2000”. Itu keliru. Karena itu berarti; kalau Allah mau, saya lahir pada 27 Juni 2000. Kok masih bilang, “Kalau Allah mau”, wong kelahiran itu sudah terjadi . Mestinya bilang, “Kalau tidak salah, saya lahir pada 27 Juni 2000”. Kalau memperkirakan kelahiran yang akan terjadi, misal dengan bilang, “Insyaallah anakmu akan lahir pertengahan bulan depan”. Itu betul.
Juga seperti, “Keterangan itu ada di kitab anu, insyaallah pada halaman 27”. Itu juga salah, karena perkaranya sudah terjadi, bukan akan terjadi.
Oleh karena itu, marilah beramal dengan ilmu.
*Ketua PC LFNU Sumenep.