Kota, NU Online Sumenep
Asta Tinggi merupakan pemakaman para raja Sumenep yang letaknya berada di daerah perbukitan, tepatnya di Desa Kebonagung, Kecamatan Kota, Sumenep. Jika peziarah hendak nyekar, pasti melewati pintu gerbang besar yang bersebelahan dengan jalan simpang tiga Pondok Pesantren Banasokon Asta Tinggi asuhan almaghfurlah KH Abi Sudjak (muassis NU Sumenep).
Selain pintu gerbang besar yang berada di bawah perbukitan, peziarah akan meliwati 1 pintu besar pula yang berada di area pemakaman Panembahan Sumolo dan 2 pintu besar yang ada di area pemakaman Raden Bindara Muhammad Saod. Bila diperhatikan, ternyata pintu besar itu terdapat deretan guci kuno yang dipajang di atas gerbang dengan bentuk unik.
Setiap peziarah hendak masuk, mereka melepas sandal dan sepatunya di anak tangga pintu utama. Sementara ketua rombongan diwajibkan memberikan laporan kepada petugas makam yang setiap hari standby di tempat yang disediakan oleh pengelola.
Muhammad Faiz salah satu pengunjung asal Desa Pragaan Laok, Pragaan mengutarakan, peziarah tidak hanya datang dari warga lokal, tetapi dari luar Madura. Selain berdoa, mereka ingin mengetahui sisi etika dan estetika bangunan megah yang berarsitektur Kolonial dan China. Cita rasa arsitektur inilah yang menjadi daya tarik peziarah datang untuk mengorek kebudayaan Sumenep di masa lalu.
Bagi peziarah yang berkunjung di siang hari, ia menyarankan agar berhati-hati saat berjalan di lantai keramik yang memanjang dari pintu utama hingga ke pemakaman raja. Di musim kemarau ini, rawan sekali kaki peziarah kepanasan saat berjalan di atas lantai tersebut. Sebagian besar para peziarah, kata dia, ada yang berkunjung ke warung yang ada di luar kompleks pemakaman.
“Di res area, kebanyakan peziarah yang berasal dari luar Madura, mengincar oleh-oleh yang dijual di seluruh kios. Yang dijual pastinya beragam, seperti jajanan, makanan, minuman, souvenir, aksesoris, hingga pakaian adat Madura,” ujarnya kepada NU Online Sumenep, Sabtu (23/09/2023).
1. Blangkon Sumenep
Umumnya, blangkon hanya dipakai oleh kalangan priyayi saat masa penjajahan. Namun alat penutup kepala ini tidak hanya di Jawa, ada pula di Sumenep yang memiliki warna pakem tersendiri, yakni berwarna merah yang sejak dulu dikenakan oleh para raja.
“Yang kami tahu, bupati Sumenep mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) memakai blangkon khas Sumenep. Beliau ingin menghidupkan nuansa kerajaan yang sejak dulu dibangun oleh leluhur serta mengangkat perekonomian pengrajin blangkon. Jadi, saat kami weekand ke Keraton Sumenep, seluruh petugas memakai blangkon dan batik khas Sumenep,” ungkap Faiz.
2. Udeng
Udeng (ikat kepala) yang berbahan kain batik, lumrah dipakai saat ada festival, kerapan sapi, dan acara adat lainnya. Jenisnya pun beragam, hal itu bisa dilihat dari ikatan yang ada di belakang. Sebagaimana dilansir dari NU Online, Odheng (Red Madura) memiliki dua jenis. Pertama, odheng peredhan, pelintiran yang tegak lurus yang diartikan huruf alif. Kedua, odheng tongkosan, simpul mati di bagian belakang yang menyerupai huruf alif lam (keesaan Allah).
3. Cumeti
Cumeti atau cambuk khas Madura sering dijumpai peziarah di seluruh objek wisata religi. Dalam konteks sejarah, cambuk ini digunakan oleh petani saat mencambuk sapinya dikala membajak sawah. Lambat laun, benda yang awalnya sederhana ini dihias oleh pengrajin menjadi lebih estetik, seperti memberikan warna, aksesoris, dan sebagainya.
4. Rengginang
Camilan khas Sumenep yang dikenal di seluruh perkotaan di Indonesia ini, pusatnya ada di Desa Prenduan, Kecamatan Pragaan, Sumenep. Seluruh kios yang ada di perkotaan, khususnya di daerah wisata religi, jajanan ini pasti ditemukan dengan aneka merk dan rasa yang berbeda.
Rengginang yang berbahan dasar ketan putih paling cocok dijadikan teman makan dan teman ngopi. Rasanya yang gurih dan renyah membuat para pecinta jajanan tradisional ini tak bosan memburu rengginang di Sumenep.
5. Petis
Petis Jawa, rasanya manis. Berbeda dengan petis Madura yang rasanya asin, gurih, dan berwarna buram kecoklatan. Saat dimakan bersama nasi atau dijadikan bahan dasar rujak, rasa ikannya tetap terasa. Karena petis ini berbahan dasar ikan tuna, pindang, udang, kepiting, yang dicampir bumbu dan rempah makanan. Seluruh bahan itu dimasak di atas api yang besar, kemudian difermentasi selama 1 bulan.