Memasuki bulan Shafar 1445 H, masyarakat banyak salah kaprah tentang penamaan bulan tersebut. Warga di Jawa Timur setiap tahun berbagi bubur Shafar kepada sanak famili dan tetangga. Bahkan sebagian warga tak ada yang berani menggelar pernikahan.
Menyikapi kesimpangsiuran penamaannya, ada beberapa pendapat ulama yang menjelaskan penamaannya, sehingga masyarakat tahu peristiwa penting di masa lalu dan dapat memetik hikmahnya.
1. Menurut Ibn Katsir, dinamakan bulan Shafar (sepi) karena kebiasaan orang Arab di zaman dulu pergi ke rumah (mengosongkan rumah) untuk berperang dan aktivitas lainnya.
صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأسْفَارِ (تفسير ابن كثير: ج ٤، ص ١٤٦)
2. Menurut Ibnu Mandzur (لسان العرب: ج ٤، ص ٤٦٠), ada beberapa penamaan bulan Shafar. Pertama, orang Arab biasa memanen tanaman mereka dan mengosongkan tanah mereka di bulan ini. Kedua, orang Arab biasa memerangi Kabilah yang datang ke daerah mereka dan mengosongkan bawaan mereka, sehingga mereka (musuh) pulang dengan tangan kosong tanpa bawaan.
Selain itu, banyak orang yang beranggapan bulan ini sebagai bulan sial. Dalam hal ini banyak ulama yang menanggapi tentang mitos nahas (sial) di bulan Shafar, antara lain.
1. Ibn Rajab al-Baghdadi menyatakan bahwa bulan Shafar sama dengan bulan lainnya. Ada kebaikan dan keburukan di dalamnya. Sehingga anggapan bahwa bulan Shafar penuh dengan kesialan itu tidak benar.
وأَمَّا تَخْصِيْصُ الشُّؤمِ بِزَمَانٍ دُوْنَ زَمَانٍ كَشَهْرِ صَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ
Setiap bulan yang diisi dengan ketaatan itu adalah baik. Sebaliknya, bila bulan Shafar diisi dengan keburukan akan menjadi buruk.
كُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَان مُبَارَك عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ. (إبن رجب البغدادي، لطائف المعارف: ص ٨١)
2. Nabi Muhammad Saw mengeaskan dalam haditsnya.
لَاعَدْوَي وَلَاطِيَرَةَ وَلَا هَامَةً وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ (رواه البخاري)
Artinya: Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaiman engkau menghindari dari singa.
Syaikh Abu Bakar Syata (إعانة الطالبين: ج ٤، ص ٣٨٢) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang Jahiliyah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya; baik keburukan maupun kebaikan.
Selain itu, menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman Azali, bukan disebabkan waktu, zaman dan anggapan salah lainnya.
3. Habib Abu Bakar al-Adni (أبو بكر الأدني، منظومة شرح الأثر فيما ورد فى شهر الصفر: ص ٩) menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang menolak keyakinan orang Arab Jahiliyah tentang kesialan di bulan Shafar. Pertama, Nabi Muhammad Saw menikahi Siti Khadijah di bulan Shafar. Kedua, pernikahan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra dan Sayyidah Fatimah az-Zahra juga di bulan Shafar. Ketiga, hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah bertepatan dengan bulan Shafar. Keempat, perang Abwa terjadi pada bulan Shafar, di mana umat Islam justru mendapatkan kemenangan telak atas kaum kafir.
Dengan demikian, dari seluruh pandangan ulama yang dikuatkan dengan hadits nabi. Bulan Shafar bukanlah bulan sial. Semua tergantung pada orang yang mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang positif.