spot_img
Categories:

LGBT, Deontologi Syariah dan Penghormatan terhadap Universalitas Hak

- Advertisement -

Oleh: A. Fahrur Rozi

Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali menjadi isu hangat yang diperbincangkan. Sejak salah satu influencer di Indonesia mengunggah video podcast bersama pasangan LGBT (homoseksual), para tokoh dengan latar kepentingan dan institusi keagamaan angkat bicara memenuhi media sosial beberapa hari yang lalu.

Isu LGBT mengajak perbincangan ulang mengenai dogma keagamaan, norma sosial, doktrin politik, dan dalih yuridis kebangsaan yang dibenturkan dengan suatu jastifikasi pragmatis tentang hak kemanusiaan. Kita menyaksikan adanya fluktuasi isu seksual yang kembali memberontak keabsahan terhadap norma-norma sosial.

Jika dicermati, ada proses sosio-kultural yang diajukan dalam tuntutan absah LGBT tadi, mulai dari prefensi homoseksual yang merupakan tendensi kelainan seseorang, bertranformasi pada laku seksual yang diwujudkan pada pemenuhan hasrat, hingga pada taraf mutakhir menuntut adanya konsesi yang legal sebagai manifestasi hak kemanusiaan.

Di sini, konsistensi dogma religiusitas (syariah) dan norma susila kembali diuji dalam dramaturgi hak sosial dan ditagih ‘apa-apa’ yang menjadi konsekuensi etis—tidak sekadar logis—di balik larangan LGBT.

Paradoks dalih keagamaan pun bermunculan, seperti tuduhan bahwa tafsir al-Quran yang tidak pernah memuat ihwal seksual, melainkan gender hasil konstruksi sosial. Sebanarnya, sangat jelas bahwa syariah Islam sangat menentang homoseksual.

Bahkan, dalam tahap mutakhir dalih keagamaan itu dipampang secara logis berdasarkan pembuktian medis, biologis, maupun psikis. Namun, ketika hak kemanusiaan yang ditagih dalam pergerakan LGBT, alasan etis perlu diuraikan dalam skandal isu yang tidak berkesudahan ini.

Deontologi Larangan LGBT

Dalam LGBT Perspektif Hukum Indonesia, Mira Fajri menilai fenomena LGBT pada gilirannya akan bertransformasi pada pemahaman menyimpang karena tidak bisa mempertemukan antara hasrat seks dan realitas prinsip kehidupan. Tidak ada pemahaman agama dan nilai kemanusiaan yang dapat membenarkan. Wahyu Tuhan dan dan teks-teks normatif sebagai jalinan sistem masyarakat mengutuk orientasi seks kepada sesama jenis. Hanya falsafah etis hedonisme (Aristippus) yang membenarkan perilaku demikian (Mira Fajri, 2016).
Status larangan LGBT dalam nalar modern saat ini dikenal dengan bacaan etika deontologis. Artinya, dogma dan norma itu bergelut dengan nilai ontologis manusia yang menekankan kewajiban moral tidak bersayarat (imperatif kategories, Immanual Kant).

Deontologis berpacu dengan perintah dan kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan nilai etis sikap hormat pada hukum moral yang universal. Kendati di satu sisi, terkesan klaim tunggal terhadap realitas nilai dan kebenaran (baik/buruk, benar/salah) yang bersifat relatif dan nisbi, tapi terdapat nilai universalitas sosial yang diakui, yaitu immoral homoseksual.

Realitas ini mempertegas bahwa basis doktrin larangan LGBT adalah memaksakan suatu kehendak kolektif dalam penghormatan kepada kodrat manusiawi. Partikularisme hak yang melekat pada setiap individu manusia bukanlah ansich, tapi dalam koridor kewajiban moral dan tanggung jawab sosial (Agus Hamzah, 2021). Akumulasi pengetahuan ini yang kemudian mengorkestra dengan perintah agama dan norma-norma dalam masyarakat.

Kodrat dan Spirit Kemanusiaan

Selain norma masyarakat, LGBT juga membentur kodrat dan spirit kemanusiaan. Sejauh ini, sistem yang dibangun oleh manusia berabad-abad tahun di masa lalu tidak memberikan toleransi ruang terhadap disorientasi seksual. Di semua lini, homoseksual membentur tatanan yang dirumuskan oleh manusia.

Begitu pula secara ilmiah tidak dibenarkan karena terdapat kelainan psikis, disorientasi biologis, bahkan teralienasi dalam dinamika sosial-humanis.

Di awal, sudah ditegaskan bahwa dogma lintas-agama, doktrin lintas-politik, dan tatananan normatif tidak memberikan ruang ekspresi bagi homoseksual. Konsekuensi logisnya, tatanan moralitas itu dijalankan berdasarkan kehendak kolektifisme.

Selain status itu, kita harus mempercayai ajaran teisme, baik samawi dan kultur manusiawi, memiliki alasan tersendiri di balik larangan LGBT. Terdapat hal esetoris yang yang harus kita gali di balik larangan orientasi homoseksual.

Hal ini bertujuan agar keberadaan larangan itu tidak kaku dan prestise semu dalam pelaksanannya, terlebih jika dibenturkan dengan hak asasi manusia (HAM), hak bebas, yang bermuara pada hak melimpahkan hasrat.

Homoseksual melanggar spirit kemanusiaan dalam memelihara eksistensinya di dunia. Dalam banyak literatur keislaman disebutkan tentang tugas manusia sebagai dasar dan pokok dari penciptaan manusia di muka bumi (QS al-Baqarah: 30, al-An’am: 165, an-Naml: 62). Manusia adalah manifestasi Ilahiyah sebagai distorsi jelamaan (al-makhluqat) yang mewakili dzat yang Maha Agung. Oleh karena itu, melestarikan keturunan manusia (hifdzun nafs) adalah hal primordial dari aktualisasi meregenarasi khalifah Tuhan di dunia.

Kemudian, hemoseksual bertentangan dengan kodreat manusiawi yang beragam (heterogen). Kondisi heterogenitas itu diabadikan dalam teks keagamaan berupa nash al-Quran agar di antara perbedaan itu tercipta keharmonisan, saling mengenal, melengkapi satu sama lain, dan berpasang-pasangan (az-Zariyat: 49 dan al-Hujarat: 31).

Di sini, alasan logis secara eksplisit disebutkan oleh Tuhan dalam firman-Nya yang setidaknya dapat ditarik dua alasan interpretatif; menjadikan perbedaan sebagai rahmat untuk mentafakkuri ciptaan Tuhan dan tidak mempertemukan unsur kesamaan/sejenis yang entitasnya menabrak tatanan ilahiyah, seperti homoseksual.

Akhirnya, orientasi homoseksual yang membenturkan antara imperatif moral dan hak kemanusiaan adalah fenomena skandal sosial yang sebenarnya menurunkan martabat manusia sebagai makhluk yang bijak (al-hayawan al-natiq) dan disertai kebebasan dalam menggunakan haknya. Entitas hak adalah kondisi sublim yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia. Hal ini sekaligus mempertegas kebebasan hak yang melekat pada makhluk rasional yang masih dalam koridor etika dan universalitas sosial.

A. Fahrur Rozi, Alumni Ponpes Annuqayah dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!
Redaksi
Redaksihttps://pcnusumenep.or.id
Website resmi Nahdlatul Ulama Sumenep, menyajikan informasi tentang Nahdlatul Ulama dan keislaman di seluruh Sumenep.
Tetap Terhubung
16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Rekomendasi

TerkaitBaca Juga

TrendingSepekan!

TerbaruUpdate!

Urutan Wali Nikah Dalam Islam

4
Rubrik Lensa Fikih diasuh oleh Kiai Muhammad Bahrul Widad. Beliau adalah Katib Syuriyah PCNU Sumenep, sekaligus Pengasuh PP. Al-Bustan II, Longos, Gapura, Sumenep.   Assalamualaikum warahmatullahi...

Keputusan Bahtsul Masail NU Sumenep: Hukum Capit Boneka Haram

0
Mengingat bahwa permainan sebagaimana deskripsi di atas sudah memenuhi unsur perjudian (yaitu adanya faktor untung-rugi bagi salah satu pihak yang terlibat), sehingga dihukumi haram, maka apapun jenis transaksi antara konsumen dengan pemilik koin adalah haram karena ada pensyaratan judi.
Sumber gambar: Tribunnews.com

Khutbah Idul Adha Bahasa Madura: Sajhârâ Tellasan Reajâ

0
# Khutbah Pertama اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ أَكْبَرُ - اللهُ...

Khutbah Idul Fitri Bahasa Madura: Hakekat Tellasan

0
# Khutbah I اَللهُ أَكْبَرُ (٩×) لَآ إِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، اَللهُ أَكْبَرُ مَا...