Image Slider

Olet Makanan Khas Lenteng Manjakan Lidah

Lenteng, NU Online Sumenep

Sudah menjadi hal yang lumrah orang saat ini memfoto makanan kemudian mengaploadnya ke berbagai media sosial. Tak peduli lagi soal rasa, yang penting tampilannya menarik dan unik. Rasa dari sebuah hidangan tak lagi menjadi prioritas utama, zaman memang sudah benar-benar berubah.

Lalu bagaimana dengan nasib Olet yang merupakan makanan tradisional ini? adakah pemuda milenial yang mengabadikan makanan ini di sosial medianya? Dari bentuk dan tampilannya saja tak begitu manarik untuk di apload di media sosial memang, tapi soal rasa jangan ditanya, sudah dijamin super mantab.

Bicara soal makanan atau jajanan tentu saja bukan hanya soal tampilan, keunikan dan rasa yang memanjakan lidah lalu kemudian berakhir diperut semata, melainkan juga penting bagaimana sejarah, proses membuat makanan tersebut sehingga tersaji dengan beraneka rasa, bentuk dan keunikannya. Seperti halnya makanan bernama Olet ini, makanan tradisional yang sudah menjadi warisan sejarah dan mengisi aneka ragam kuliner atau jajanan khas Kabupaten Sumenep, khususnya di kecamatan Lenteng.

“Olet ini makanan orang-orang kampung zaman dulu, sejak zaman kerajaan Olet itu sudah ada. Olet itu menjadi salah satu makanan pokok oleh kakek-kakek saya, bahkan buyut saya salah satu makanan pokoknya ya olet ini. Karena dulu memang jarang sekali yang namanya beras, jagung saja jaman dulu masih jarang-jarang,” kata pak Munir, salah satu warga Lenteng pembuat Olet yang ditemui oleh NU Online Sumenep, Jumat (28/01/2022) di kediamannya.

Tak ada yang tau persis bagaimana asal muasal Olet itu ada, sebagai makanan pokok orang jaman dulu. Namun menurut Ibu Umbiyah yang merupakan ibunda pak Munir menuturkan, jika orang tempo dulu singkong merupakan makanan pokok. Selain dibakar, cara orang jaman dahulu mengkonsumsi singkong dengan cara direbus. Mungkin rasa bosan mengkonsumsi singkong dengan dua cara di atas, akhirnya orang-orang zaman dulu melakukan inovasi mengolah singkong dengan cara yang berbeda. Tentu pula rasanya saat dimakan juga akan menambah kaya akan rasa olahan singkong itu sendiri.

“Dulu singkong menjadi makanan utama karena sudah bosan. Jadi diolah dengan cara yang berbeda. Diberi ketan hitam itu mungkin dulu punya sedikit atau sisa-sisa ketan hitam dulu. Ketan itu dijadikan campuran kukusan singkong yang sudah dihaluskan itu, karena sudah diproses dengan cara yang jauh berbeda dari sebelumnya yang hanya direbus atau dibakar, kemudian makanan ini dikasih nama Olet, mungkin. Saya tidak tau juga cerita pastinya gimana, tapi yang saya dengar dari kakek-nenek saya begitu,” papar Ibu Umbiyah disertai tawa kecil sembari terus mengupas singkong yang akan dibikin Olet.

Umumnya, semua jenis singkong bisa dijadikan bahan dasar Olet. Namun singkong yang biasa digunakan untuk bahan dasar untuk membuat olahan Olet adalah jenis singkong kuning atau ada juga yang menyebut singkong karet atau singkong mentega. Secara tekstur antara singkong kuning atau singkong putih tak jauh berbeda, namun saat direbus singkong putih lebih empuk dan aromanya berbeda. Secara alami, singkong kuning lebih wangi jika dijadikan bahan dasar Olet.

Untuk singkongnya sendiri, ibu Umbiyah memang punya kebun singkong sendiri. Namun jika singkong di kebunnya sudah habis, baru beli ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumahnya. Selain singkong, ada pula ketan hitam sebagai bahan tambahan bahan dasar Olet.

“Harus singkong kuning, kalau bukan singkong kuning rasa dan aromanya tidak enak,” kata ibu Umbiyah sambil mulai membuat nyala api di tungku yang terbuat dari tanah liat di dapur sederhananya.

Ibu Umbiyah membuat Olet memang di dapur khusus, dapur dengan ukuran 3×2 meter itu masih berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu. Posisi dapur mungil ini terletak tak jauh dari halaman depan rumahnya sekitar 7 meter dari teras rumah, berdampingan dengan kamar mandi.

“Ini dapur khusus membuat Olet. Soalnya Olet dimasak pakai kayu bakar. Kalau pakai kompor kelamaan matengnya. Dan wanginya juga jauh lebih harum pakai kayu bakar. Nanti beda rasanya kalau dimasak pakai kompor. Asapnya ini yang menambah harum olahan kukusan singkong,” katanya disertai gelak tawa.

Tidak hanya Oletnya saja yang merupakan makanan tradisional, tapi alat-alat yang digunakan juga masih menggunakan peralatan dapur jadul. Dari tungku yang terbuat dari tanah liat, alat pengukusnya juga terbuat dari tanah.

Alat ini mirip dandang namun bentuk bawahnya lebih mengerucut dengan ujung agak bulat dengan beberapa lubang-lubang kecil. Ada juga periok sebagai tempat air yang ditaruh di bawah dandang saat pengukusan nanti.

Demikian pula dengan alat mengaduk untuk membolak-balik rebusan singkong saat masih berada dalam dandang, ibu Umbiyah menggunakan irus atau sothil yang terbuat dari kayu. Sementara tampah sebagai alat untuk menuangkan singkong yang sudah dikukus tadi.

Alasan ibu Umbiyah tetap menggunakan peralatan dapur tradisional agar tidak mengurangi atau merubah aroma dan rasa dari Olet itu sendiri. “Kalau pakai alat lain pasti rasa dan aromanya beda, tidak harum seperti menggunakan alat dari alumenium. Kekhasan dari Olet itu sendiri akan hilang,” ujarnya.

Dibutuhkan kesabaran dalam membuat Olet, karena harus melalui proses panjang untuk mendapatkan sajian olahan singkong yang satu ini. Waktu yang dibutuhkan kurang lebih sekitar empat jam dari awal pengupasan singkong hingga akhirnya menjadi Olet dan siap untuk disajikan.

Proses awal tentu dengan mengupas singkong terlebih dahulu, setelah selesai dikupas, singkong dicuci bersih. Setelah semua singkong dicuci bersih, kemudian singkong diparut atau dihaluskan dengan mesin.

“Kalau dulu pakai parutan, kalau sekarang pakai mesin ini. Hanya agar lebih cepat saja prosesnya. Kalau cuma ini ga bakalan merubah rasa dan aromanya,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh.

Setelah semua singkong diparut, kemudian dengan hati-hati ibu Umbiyah memasukkan parutan singkong ke dalam alat pengukusan yang saat sebelumnya sudah dipanaskan terlebih dahulu. Di bawah dandang tersebut terdapat periuk, orang Madura menyebutnya “Polok” sebagai wadah air yang diletakkan di bawah dandang. Di bagian bawah dandang dilapisi plastik dengan bonggol jagung sebagai pembatas air dan parutan singkong.

“Proses paling lama membuat Olet ini saat mengukusnya, butuh waktu kurang lebih satu zaman. Tapi tergantung banyak singkong yang dibuat, kalau saya banyak sekali membuat, makanya agak lama. Selama pengukusan parutan singkong harus dibolak-balik agar matangnya merata,” katanya.

Setelah matangnya merata, parutan singkong di dandang kemudian dituangkan ke tampah yang sebelumnya sudah diberi daun pisang dan rebusan ketan hitam merata diatasnya. Kukusan singkong kemudian dipipih-pipih dengan cara ditekan hingga bercampur dengan rebusan ketan hitam tadi hingga permukaannya rata.

Proses selanjutnya, kukusan singkong di atas tempah tersebut didiamkan hingga dingin. Waktu yang dibutuhkan sekitar satu jam. Baru kemudian olahan tersebut bisa dipotong-potong atau iris tipis dan siap disajikan.

Potongan atau irisan olet setebal 5-7 sentimeter itu kemudian disajikan di atas piring yang sudah diberi alas daun pisang muda agar tambah wangi. Irisan Olet kemudian ditambah parutan kelapa dan sebagai langkah akhir disiram dengan “tangguli” atau gula aren. Olet siap disantap Bersama keluarga. Tentu dengan kombinasi bahan-bahan topping tersebut menambah kaya akan cita rasa.

Olet memiliki banyak rasa, ada manis, gurih, dan tekstur lembut setengah kenyal, sehingga membuat seseorang tak ingin berhenti menikmatinya. “Bukan hanya enak kalau olet itu, tapi juga mengenyangkan. Singkong kan juga mengandung karbohidrat dan juga serat.” Kata Pak Munir, yang juga sebagai guru di salah satu pesantren di wilayah Lenteng.

Selain menggunakan gula aren atau tangguli, Olet juga bisa dinikmati dengan gula pasir dan juga susu kental manis. “Lebih maknyus pakai gula pasir, sama susu juga enak. Coba saja ini pakai susu,” pak Munir menyuguhkan susu kental manis yang sudah dituangkan di atas piring kecil.

Ibu Umbiyah membuat Olet sudah ia tekuni sejak masih remaja dulu, meneruskan usaha sang ibu. Ibu Umbiyah merupakan generasi ketiga. Menjual olet menjadi penghasilan tambahan bagi perempuan berusia senja ini. Uang hasil jualan Olet dipakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

“Yang termasuk orang pembuat Olet ya saya, tapi yang lain banyak juga. Usaha ini sudah puluhan tahun lamanya dan saya sudah generasi ke tiga,” ujarnya.

Di tengah perkembangan zaman dan serbuan makanan kekinian, ibu Umbiyah tidak yakin makanan tradisional ini akan terus bertahan dari generasi hingga ke generasi selanjutnya. Karena selain proses membuat Olet yang cukup memakan waktu, ditambah pula makanan ini sudah jarang sekali generasi saat ini yang bisa membuat Olet.

“Saya tidak yakin Olet ini masih akan tetap ada, sekarang sudah jarang orang membuat Olet, di Lenteng saja ya hanya orang-orang seumuran saya yang masih tetap membuatnya,” ujarnya dengan nada lirih menandakan kekhawatirannya Olet akan hilang dimakan zaman. Disisi yang lain, keriput semakin tampak diwajahnya disaat ia tersenyum.

Sebagai warisan kuliner legendaris dan semkin langka, kini Olet menjadi makanan yang istimewa. Bahkan olet diikutkan di acara festival kuliner yang diadakan pemerintah Kabupaten Sumenep.

“Olet kemarin diikutkan di acara festival kuliner di kota. Kala itu di masa pemerihan Abuya Busyro Karim. Kalau dulu Olet hanya sekedar makanan orang kecil atau rakyat biasa, sekarang justru orang sekelas bupati yang mesan. Orang-orang kantoran juga, mesan ke ibu saya.” ujar pak Munir.

Namun meski tergolong sudah langka, para pecinta kuliner bisa mendapatkan sajian Olet ini di pasar Lenteng, pasar ini tidak terlalu jauh dari pusat kota. Hanya berjarak kurang lebih 10 kilo meter ke arah barat laut. Meski pasar ini selalu ramai setiap harinya, namun untuk menemukan penjual Olet hanya ada saat hari Ahad saja. Selain hari tersebut tidak akan ditemukan penjual makanan tradisional ini. Karena selalu diserbu pembeli, makanan ini hanya bertahan dua hingga tiga jam saja ditangan penjual, dari jam 07.00-10.00 WIB olet akan ludes terjual.

Para pecinta kuliner atau bagi siapa saja yang penasaran ingin mencoba makanan dengan cita rasa lokal ini harus ke pasar Lenteng. Karena di pasar-pasar lain di wilayah Sumenep akan jarang atau bahkan sulit dijumpai penjual makanan unik ini.

“Adanya hari Ahad, karena hari pasaran Lenteng itu di hari Ahad hari yang ramai. Selain hari itu ga bakalan ada yang jual. Atau kecuali mesan langsung ke rumah pembuat Olet, seperti ibu saya ini. Ibu saya sering nerima pesanan dari pejabat-pejabat dilingkungan kabupaten Sumenep,” pungkas pak Munir yang selalu setia menemani ibunya membuat Olet.

Editor: Firdausi

ADVERTISIMENT

sosial mediaFollow!

16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan

Rekomendasi

TerkaitBaca Juga!

TrendingViral!

TerbaruBaca Juga