Burung Pembawa Kabar Kematian

0
739
Ilustrasi: Tim Eksekutor NUOS.

Cerpen Ulfa Ucil

Hampir satu pekan di kampung Dulaziz banyak orang yang meninggal. Ada yang meninggal karena sakit panas, sakit kepala, sakit perut, dan sakit yang tidak wajar; kalau kata orang kampung mati karena disantet. Dulaziz yang kerjanya setiap hari hanya sebagai pekerja serabutan selalu mengeluh sebab pendapatannya setiap hari habis untuk dibawa ngelayat. Sedangkan persediaan beras di rumahnya semakin menipis, belum lagi kedua anaknya yang doyan jajan dan juga harga sembako sudah mulai naik. Dulaziz benar-benar berada di ambang kebingungan, belum lagi kalau istrinya selalu ngomel-ngomel jika dirinya tidak bekerja atau pulang ke rumah tidak membawa uang sepeser pun atau sesuatu yang basa diamakan.

Dulaziz mencoba mencari pekerjaan yang gajinya agak lumayan, namun ia tidak mempunyai keahlian selain mencangkul di sawah, menanam padi, atau menjadi kuli bangunan, itu pun ia hanya biasa mengaduk tanah dan semen. Semua pekerjaan tersebut dilakukan ketika ada orang yang memanggilnya untuk bekerja. Mau kerja kantoran ia hanya tamatan Sekolah Dasar.

Pagi itu ketika Dulaziz sedang duduk di teras rumahnya tanpa rokok dan kopi sebab uang yang dimiliki hanya cukup untuk membeli dua liter beras. Ia hanya duduk termenung meratapi nasibnya. Di pucuk pohon akasia, burung kecil berwarna hitam pekat bercucuit nyaring. Lamunan Dulaziz langsung buyar mendengar cuitan burung itu. Burung tersebut oleh orang-orang di kampung Dulaziz dianggap burung pembawa sial, biasanya pertanda akan ada orang meninggal.

“Siapa lagi yang mau meninggal? Dasar burung pembawa sial!” Ucap Dulaziz menggerutu menyumpahi burung tersebut yang bertengger di pohon akasia di samping rumahnya.

“Jangan selalu berpikir jelek tentang burung itu Pak! Burung juga ada mulutnya. Pantas saja jika selalu berbunyi,” celetuk istri Dulaziz dari dalam rumah.

“Lihat saja nanti pasti akan terjadi sesuatu,” bantah Dulaziz tidak mau kalah.

“Daripada Bapak berpikir yang tidak-tidak, mending cari duit sana! persediaan beras di dapur sudah hampir habis.” Istrinya kembali menyahut dengan nada agak kesal. Kali ini istrinya sudah berdiri di ambang pintu.

“Bukannya kemarin aku sudah memberimu uang untuk membeli beras?” Tanya Dulaziz pada istrinya.

“Beras yang kemarin mau dibawa takziah nanti siang ke rumahnya Haji Hasan. Tidak enak kalau tidak takziah ke sana.” Ucap istrinya menjelaskan.

Kemudian Dulaziz pergi keluar rumah mencoba mencari pekerjaan apa saja yang sekiranya dapat menghasilkan uang. Siapa tahu di luar sana ada sisa-sisa rezeki yang bisa dipungutnya. Sepanjang jalan, Dulaziz memikirkan bagaimana caranya bisa mendapatkan uang, kiranya pekerjaan apa yang cocok untuk dirinya saat ini?. Pikirannya terus menjalar sampai membuat pening kepalanya, betapa sangat susahnya mencari uang bagi orang melarat seperti dirinya. Hari ini tidak ada orang yang mengajaknya bekerja di Sawah. Dulaziz terus melangkahkan kakinya dengan jalan gontai dan lesu tak tahu mau ke mana. Di jalan Dulaziz bertemu dengat Matra’i yang jalannya sangat terburu-buru.

“Mau ke mana, Mat? kok buru-buru?” Tanya Dulaziz kepada Matra’i

“Mau ke rumahnya Maimunah, si Sukirman, suaminya meninggal” Ucap Matra’i dengan napas tersengal-sengal.

“Sukirman yang katanya sakit karena disantet? Kapan meninggalnya?” Dulaziz terkaget-kaget mendengar perkataan Matra’i.

“Sudah kuduga semua ini pasti akan terjadi, pantesan tadi ada suara burung itu lagi.” Lanjutnya lagi, sementara Matra’i tidak mengerti dengan maksud perkataannya itu.

“Maksudmu apa, Dul?” Tanya Matra’i memasang wajah penasaran.

“Tadi aku mendengar bunyi burung pembawa sial itu di teras rumahku, sudah kuduga pasti akan ada yang meninggal.” Ucapnya meyakinkan Matra’i.

“Ah…kamu terlalu percaya dengan hal-hal seperti itu, nanti kamu yang mengalami sendiri baru tahu rasa.” Matra’i termasuk orang yang tidak percaya dengan hal-hal yang seperti Dulaziz ucapkan malah menyumpahi Dulaziz.

“Tapi setiap kali ada suara burung pembawa sial itu, pasti ada orang meninggal. Kemarin Haji Hasan, istriku belum takziah sekarang malah nambah lagi si Sukirman.” Kata Dulaziz berdebat.

“Itu karena kamu terlalu parno, yang namanya hidup dan mati udah diatur sama yang di atas. Memangnya malaikat harus nunggu suara burung yang katamu pembawa sial itu buat nyabut nyawa manusia? Hahaha.” Jawab Matra’i sambil terkekeh.

“Ya sudah aku ke rumah Sukirman duluan, atau kamu mau bareng?” Ajaknya pada Dulaziz yang nampaknya mulai kesal dengannya karena dirinya tidak memercayai ucapan Dulaziz.

“Duluan sajalah, aku mau pulang dulu, mau ngabari istriku” Ucap Dulaziz dengan tampang kesal.

Keduanya pun berpisah, Matra’i menuju rumah Sukirman sedangkan Dulaziz pulang lagi ke rumahnya untuk menyampaikan kabar kematian Sukirman kepada istrinya, tentunya Dulaziz pulang dengan hati menggerutu, sebab belum dapat pekerjaan hari ini.
***
Sore itu Dulaziz ikut ke pemakaman. Jasad Sukirman telah disemayamkan. Kiai Mujib, tokoh masyarakat dan sesepuh di kampong. Dulaziz merapalkan doa dengan khusyuk. Diantara doa dan amin yang menggema di pekuburan, tanpa sengaja Dulaziz melirik ke pohon bunga kenanga yang berada di sepanjang tanah kuburan. Di pucuk pohon bunga kenanga bertengger burung yang warnanya hitam pekat. Dalam pikiran Dulaziz, itu burung pembawa sial. Dalam hati Dulaziz berkata “Apa yang akan terjadi setelah ini?”. Tak lama setelah melihat burung kecil berwarna hitam itu, tiba-tiba tubuh Dulaziz ambruk. Orang-orang yang tadinya khusuk dan larut dalam doa yang dipimpin oleh Kiai Mujib langsung beralih kepada Dulaziz yang tiba-tiba pingsan. Sebagian orang membopong tubuhnya dan dibawa pulang, sementara sebagian lagi melanjutkan doa yang belum selesai.

Di rumah Dulaziz, istri dan anak Dulaziz tercengang melihat Dulaziz yang dibopong oleh warga. Kagetnya lagi ternyata tubuh Dulaziz sudah dingin dan setelah dicek jantungnya pun berhenti berdetak. Istri dan anaknya pun menangis histeris. Orang-orang yang ada di situ juga kaget, padahal Dulaziz tadinya sehat-sehat saja dan tidak mempunyai riwayat penyakit yang serius.

Kabar kematian Dulaziz sudah terdengar seantero desa. Dari toa masjid sudah diumunkan. Orang-orang masih belum percaya akan kematian Dulaziz yang tiba-tiba. Sementara itu, di rumah Dulaziz lantunan Yasin menggema dan di pohon akasia depan rumah Dulaziz burung pembawa sial itu bertengger di antara daun dan reranting; membawa kabar kematian Dulaziz pada semesta.

Yogyakarta, Februari 2022

Ulfa Ucil lahir di Sumenep pada tanggal 7 Juni. Untuk masukan dan kritik bisa dihubungi via WhatsApp : 085336587460 dan Email: ulfaar97@gmail.com, Instagram: @ulfaucil40 .

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini