Oleh: Nur Hasanah Mahasiswa Instika Guluk-Guluk
Sempat terdengar isu radikalisme khilafah yang mengakomodasi sebuah gerakan. Sayangnya, radikalisme tidak ada rekognisi terhadap argumen kewarganegaraan. Sungguh ironis dengan adanya penolakan konstitusi dan ideologi negara.
Salah satu ruang publik yang vital kali ini adalah pendidikan. Sebuah pendidikan harusnya memperkuat basis kognitif dan praktik warga negara agar menjadi warga negara yang baik (good citizens), yaitu sesuai dengan konstitusi dan ideologi. Dari pendidikan inilah kebenaran dapat terekam, terangkum, dan terekspresikan dalam etika keseharian.
Ideologi telah terkemas rapi dengan sebuah tujuan kemakmuran dan ekspektasi kenegaraan. Aspek pertama Pancasila, setiap warga negara mempunyai Tuhan. Setiap agama dan ajarannya membuat kita sepenuhnya sadar atas adanya Tuhan hingga tertanam hikmah dalam benaknya.
Keadilan dan keberadaban merupakan hal penting dalam kemanusiaan. Sila kedua mempunyai makna adil dalam menempatkan sesuatu, yang mana dapat terikat dalam bingkai mencintai tanpa memilah atau memilih. Misalnya orang tua terhadap anak dalam hal memberi maupun mengasihi.
Ketiga, persatuan Indonesia yang berada dalam literatur Sumpah Pemuda. Baik itu beda ras, suku, maupun agama, namun tetap satu bangsa Indonesia. Maksudnya, saling sapa, tukar cerita yang jauh dari kata beda dan tercipta perdamaian sempurna.
Etika menghormati juga penting untuk kita kaji sehari-hari, karena merupakan bagian dari toleransi, sebab seseorang butuh dihargai, hingga muncul istilah akhlak antara yang muda pada yang tua, sebaliknya antarsesama. Utamanya dalam keluarga, lebih-lebih rakyat pada pimpinannya dan sebaliknya.
Musyawarah dan diskusi juga merupakan hal penting untuk membuat sebuah instruksi dalam pembentukan kewarganegaran dengan kerakyatan yang aman dan nyaman di bawah pimpinan, Sehingga dalam struktur apapun pasti terlaksana permusyawaratan dengan konsep diskusi yang dibutuhkan. Kepemimpinan yang terbentuk sebagaimana di atas sesuai dengan sila keempat yang terulas.
Setelah keempatnya terlaksana, maka tidak akan ada lagi kesenjangan sosial, ekonomi, dan hal lainnya. Sebenarnya lima Sila tersebut cukup kita terapkan dalam keseharian, karena jika kita paham atas ilustrasi ini dan mengkaji, maka etika yang baik akan tercipta dengan sendirinya. Yakni menjadi warga negara yang mengerti, tidak menyalahi ideologi dan konstitusi yang sudah tertulis rapi. Sebab menghapus yang pasti adalah kesalahan.
Sungguh miris sekali jika ideologi negara ini benar-benar diganti. Tidak akan ada etika, yang ada hanya pertimbangan saja hingga terjadi terang dalam satu negara. Pada hakikatnya, hanya etika sederhana yang terkandung dalam Pancasila yang mampu memakmurkan Negara Indonesia.
Editor: Firdausi