Image Slider

Puisi-Puisi LY. Misnoto*

Rokat Laut

pada angin, ombak terbius risalah-risalah mantra sunyi. melewati sesaji dan bau dupa di batu-batu. lalu berlayarlah bhitek di luas laut. jemari merebut keyakinan di dasarnya. sebelum pelaut memastikan harapan-harapan. di dadanya tercatat waktu-waktu dengan arus digit musim. membaca seluruh hilal di kuburan leluhur masa lalu. dan sunyi memutuskan panas untuk mengawasi air laut tetap biru di dada, kepala dan kaki para pelaut. sebab istrinya merahasiakan bukit kecemasan di dapur.

pada ombak, mantra masih mengajari masa kecil. ketika bapak tak pulang dari angin ribut. perlahan riang. membaca larik-larik sunyi. lembut. mengusap keringat di dahi dan dada. dan akhirnya terlihat layar tertutup di kening. mungkin bapak berlabuh di keningku. sebab, malam segera mengakhiri debur pada ayat-ayat kepastian. sebelum ramai menjadi sunyi. sebelum sunyi menjadi ramai. hanya perayaan akhir mengisahkan waktu dalam gepalan tangan. yang bisu. yang sunyi. yang rapat.

pada laut, mantra memasukkan kaki sunyi tanpa jembatan. meluruskan liku keinginan bapak. ketika jalanya menemui karang. matahari menantangnya untuk kembali. ada doa yang tak bisa ditunda dalam pelayaran. sebelum waktu benarbenar panjang di suatu episode–keriput hampir menghampiri. ada sepotong kayu melintas pada arakan raya. pada arus. pada kebahagiaan. sampai mantra terakhir terbaca dengan khusuk dan fashih. sebab, leluhur menunggu di batu-batu hampar–kerasnya melebihi tubuhku di pundak bapak.

pada angin yang mengundang ombak di laut sunyi. bhitek telah membawa resah. di kepala kambing atau sapi. di tubuh anak ayam. ada nasib direbahkan pada sisasisa tumpukan pasir. Kembang tujuh rupa ditabur di atas sampansampan. semoga nasib baik datang di jala bapak. leluhur tak menghirup, selain doadoa yang dibakar dupa. sementara ratu laut menunggu balak. biar tak terkabarkan di laut lepas. sebab, istri pelaut melepaskan kecewa pada debur batu-batu kepasrahan. dapurdapur sudah mengebulkan asap: bawalah harap kami pada ikanikan di dasar laut!

 Giliraja, 26 Juni 2021

Rokat Batu

bismillah, biru langit menghisap keringat; sisa orang-orang bersemadi. mantra kehilangan usia dibaca dalam permohonan. menggantikan malapetaka dengan pecahan-pecahan riwayat masalalu yang dibuat ketakutan. masa tehimpun pada jiplakan tipu–omongan orang-orang muslihat. batu tak bisa diduduki, ada penunggu yang akan kecewa.

padahal, peristiwa diperbincangkan hari ke hari. mematikan huruf-huruf ganjil di rahim batu-batu. dan ketakutan akan abadi di tubuh anak-anak, sampai ke masa depannya. menumpuk pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya hanya pura-pura; kebohongan. bahkan, langkah diiringi mantra-mantra bisu agar tak diikuti perasaan. dan penunggunya tersimpuh, sambil menikmati sesajen di malam jum’at lalu. lalu, ketakutan menjadi doa di tubuh kaku. setelah dan sebelum sampai pada batas tujuan.

setiap malam jum’at mantra-mantra berkawan dengan dupa dan sesajen. biar penunggunya tak mesti meminta-minta, katanya. sebab, akan ada orang sakit di pekarangan itu. atau akan lahir ratap dari lendir kegelisahan pada batu-batu berlahar sunyi di dada. barangkali, leluhur seringkali meminta doa dari kesunyian di batu yang terpajang di binar mata. sebelum anak lalu bermantra kehilangan cemas dan taku. kecemasan dan ketakutan akan membunuh kita.

dari sisa-sisa mantra

tercatat suka rela

untuk keabadian segera hilang

Giliraja, 26 Juni 2021

Rokat Pohon-Pohon

 pohon berduri. pohon rindang. selalu menjadi metafora dari mantra-mantra masa lalu. namun, terkadang luput menjadi kalimat tanya yang menakutkan. sebab, seringkali bau dupa di akar-akarnya terhimpit pada induk daun-daun yang selalu siaga menunggu sesajen dari ketakutan-ketakutan paling sunyi. dan berucap: ronggaku tak akan pernah sunyi.

pohon besar. menjadi peristiwa perjalanan sejarah di setiap periode ketakutan paling sunyi. nyanyian, gurindam, syair ataupun mantra hanyalah sebatas kekosongan. lebih fana dari leluhur yang berpulang. sebab, akan tiba-tiba hilang.

satu episode pohon lainnya. tersisa untuk dijilat binatang-binatang melata. yang lupa pada rasa takut. percuma mengajarinya. padahal, matahari selalu memberi peringatan. jangan kau dustakan pohon-pohon tanpa membaca basmalah. hanya saja dijadikan bahan bercandaan yang lebih hina dari sesajen di akar-akar pohon-pohon besar penuh keyakinan.

Giliraja, 28 Juni 2021

Rokat Tanah

kembali pada tanah yang kehilangan periode musim–penghujan dan kemarau. selaksa metafora batu tanpa arti kepastian. Berpura-pura dalam tirakat. membaca seluruh mantra sunyi. akan keadilan bersandiwara di kotanya sendiri? tanah kering. berongga seperti kehausan dijejaki kaki. daun-daun terbang menemui ajalnya. sambil membantu memberi makan tanah.

peristiwa tanah kosong menjadi mantra paling abadi pada periode kesunyian. barangkali sejarah hanya sebatas petaka. bagi para pengungsi yang rumahnya entah. dan pemujaan menjadi kalimat tanya tak efektif di seluruh jejak yang tersisa. atau berbekas pada alat-alat besar–perangkai kesedihan.

percuma ditawari kesabaran. sebab, mereka hanya binatang jelata menjilati kekuasaan. tanpa ingat tanah yang diinjak. rumah yang ditiduri di masa kecil. kita hanya pasrah dalam mantra-mantra kepura-puraan. berpacu dengan ketenangan batin. seterusnya entah.

Giliraja, 30 Juni 2021

 Rokat Pekarangan

tak ada kesunyian pada mantra tubuh. peristiwa perayaan debu menjadi polusi bagi persinggahan mata. butir-butir malam meriwayatkan tubuh perempuan yang lentur. yang menghias malam minggu di ruang-ruang kenikmatan; abadi. mengubah kehadiran zaman di tanah-tanah pekarangan.

barangkali kita semestinya bertirakat. mencari kejernihan dalam kepastian. Pada tanah dan ruang-ruang meditasi panjang.

rebahkanlah beberapa sesajen di pangkuan sudut-sudut pekarangan. petiklah harmoni pada semilir ketakutan. pada malam minggu yang menjalankan kepura-puraan. air mata tak akan menyelesaikan hama-hama di rumah kita. ada persinggahan yang diisyaratkan untuk teduh pada pertanyaan-pertanyaan di kota ini.

lalu, siapkanlah bait-bait mantra dari kesaksian. Sebelum aliran air benar-benar bisu di matamu; kembalilah.

Giliraja 2 Juli 2021

 LY Misnoto lahir di Pulau Giliraja, Sumenep. Pernah aktif di Sanggar Aksara dan Forum Intelektual Santri (FITRI) PP. Nurul Islam, Karangcempaka, Bluto, Sumenep. Beberapa puisinya dipublikasikan di beberapa media, di antaranya Radar Malang, Radar Cirebon, ideide.id, Sutera.id, Kibul.in, Dinameka News, Tembi.net dan lainnya. Antologi puisi tunggalnya yang sudah terbit Memori Juli (Vista Publishing, 2018) dan Mayang (Kali Pustaka, 2019).

ADVERTISIMENT

sosial mediaFollow!

16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan

Rekomendasi

TerkaitBaca Juga!

TrendingViral!

TerbaruBaca Juga