Kota, NU Online Sumenep
Lebaran Ketupat atau Tellasan Topa’ (madura: red) telah menjadi tradisi yang mendarah daging bagi masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Sebutlah misal di Madura, Jawa, Lombok, Kudus, dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam praktiknya tidaklah sama persis.
Tellasan Topa’ dilaksanakan tepat satu pekan setelah Hari Raya Idul Fitri, atau tanggal 7 syawal. Di Madura khususnya, tradisi Tellasan Topa’ menjadi momentum silaturahim dan saling berbagi dengan sesama. Mereka berkumpul di satu mushalla atau masjid untuk menikmatnya bersama-sama.
K Dardiri Zubairi, Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep angkat suara terkait hal ini. Dirinya menyebutkan, bahwa hal tersebut menjadi modal sosial dalam kehidupan di era modern, yang serba mementingkan kepentingan pribadi.
Masyaikh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura ini menafsirkan, bahwa Tellasan Topa’ dalam konteks ke-Madura-an merupakan wujud dari kecintaan masyarakat kepada tokoh agama dan kiai, yang menjadi sentral pengetahuan keagamaan.
“Dalam konteks masyarakat Madura, ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura begitu mencintai dan memuliakan tokoh agama dan kiai. Sebab, dari merekalah asal pengetahuan agama masyarakat Madura diperoleh,” ungkapnya kepada NU Online Sumenep, Rabu (19/05/2021).
Bagi masyarakat Madura, Tellasan Topa’ merupakan warisan leluhur yang harus terus dilestarikan. Sebab, realitas sosial yang berlangsung saat ini tidak lepas dari akar kebudayaan warisan para leluhur, yang sejak awal telah berkontribusi besar dalam membangun peradaban.
“Ini menunjukkan bahwa orang Madura begitu menghargai leluhurnya. Apa yang diperoleh sekarang tak lepas dari warisan para leluhur, termasuk dalam menjaga tradisi,” tukas Kiai Dardiri.
Tidak hanya itu, Kiai yang juga merupakan Aktivis Ajaga Tana Ajaga Na’poto ini mengulas lebih dalam makna Tellasan Topa’, yang dianggap mengajarkan pentingnya memiliki kepribadian baik.
Di Madura, bungkus Topa’ atau Ketupat disebut Orong yang terbuat dari daun siwalan atau daun pohon kelapa (janur). Maka, belum bisa disebut Topa’ jika di dalamnya belum diisi beras dan dimasak dalam tungku api yang panas. Akan tetapi hanya disebut Orong, atau bungkus yang hampa.
“Untuk bisa disebut Topa’ tentu harus lengkap dengan isinya, yakni beras,” imbuhnya.
Sama halnya dengan manusia. Keberadaanya baru akan lengkap jika dalam jasadnya terdapat isi. Jasad manusia harus diisi dengan kepribadian dan karakter yang baik, ilmu dan pengetahuan yang tinggi, serta perilaku dan etika yang baik pula.
“Orong hanya bungkus, dan tak ada isinya. Begitu juga dengan oreng (orang), baru lengkap kalau dalam jasadnya ada isinya. Jika tak ada isinya, sebenarnya dia bukan “oreng” tapi “orong,” pungkas Kiai Dardiri.
Editor: A Habiburrahman