Lenteng, NU Online Sumenep
Tradisi Nisfu Sya’ban dimulai pertama kali oleh generasi Tabi’in di Syam, Syria seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Ma’dan (Perawi dalam Bukhari Muslim), Luqman bin ‘Amir (Al-Hafidz Ibn Hajar menilainya sebagai seorang yang jujur), dan sebagainya.
Hal itu disampaikan langsung oleh H Damanhuri selaku Direktur Madrasah Moderasi Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Sumenep saat dikonfirmasi oleh NU Online Sumenep, Kamis (17/03/2022) di kediamannya Desa Lenteng Barat, Lenteng.
“Setelah apa yang dilakukan oleh para Tabi’in ini dengan mengagungkan dan beribadah di malam tersebut, maka amaliah di bulan Sya’ban menjadi populer,” terang alumni Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk itu.
Menurut Wakil Rektor I Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk ini, walaupun beberapa ulama berbeda pendapat dalam meresponsnya. Namun, kebanyakan ulama Bashrah (Irak) menerimanya.
“Sementara mayoritas ulama Hijaz (Makkah-Madinah) menolaknya seperti Atha’, Ibn Abi Mulaikah, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam ditambah lagi dari beberapa ulama Malikiyah yang mengatakan sebagai amalan Bid’ah,” tegasnya.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan, beberapa ulama Syam, umumnya mereka melaksanakan amalan ibadah Nisfu Sya’ban ini dengan beberapa cara.
“Di antara cara yang mereka tempuh yaitu, dianjurkan shalat berjamaah di Masjid seperti Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir, dan lainnya dengan memakai pakaian terbaik, wewangian, serta celak mata. Juga ada sebagaian yang memakruhkan berkumpul di masjid pada malam Nisfu Sya’ban untuk shalat, mendengar cerita-cerita, dan berdoa. Pendapat tersebut menurut Al-Auza’i, Imam ulama Syam dan ahli fikih. (Syaikh Al-Qasthalani dalam Mawahib Al-Ladunniyah II/259, mengutip dari Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Lathaif Al-Ma’arif 151),” ungkapnya.
Alumni Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga mengulas, bulan Sya’ban adalah salah satu bulan yang istimewa selain bulan Rajab dan Ramadhan, seperti doa yang sering dipanjatkan berdasarkan sabda Nabi SAW.
“Keistimewaan bulan ini selain bulan terakhir menuju Bulan Ramadhan karena dianggap bulan yang mustajabah saat memohon ampunan terutama saat nisfu (separuh) dari bulan ini. (Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Imam No. 3811 dan Fadlail Al-Auqat No. 149, dan Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf No. 7928),” jelasnya.
Beliau juga menyatakan, ibadah yang dianjurkan adalah berpuasa sunah sebelum sampai separuh bulan Sya’ban, karena jika sudah di atas tanggal 15, sebagian ulama mengharamkan kecuali disambungkan dengan tanggal 15. (I’anah Al-Talibin II/273 dan juga Nail Al-Authar IV/349).
Menurutnya, saat malam Nisfu Sya’ban, dianjurkan untuk membaca surat Yasin 3 kali setelah terbenamnya matahari atau setelah shalat Maghrib berjamaah di masjid ataupun mushala. Sedangkan pembacaan surah Yasin ini dianjurkan bersama-sama di masjid, mushala dan di rumahnya bersama kerabat lainnya.
“Bahkan menurut Syaikh Nadzim Al-Haqqany amalan yang perlu dilakukan selama bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan yaitu membaca shalawat nabi semampu kita bisa dari hitungan 100, 1000, hingga 10.000 kali,” tandasnya.
“Membaca kalimat tauhid Laa Ilaaha Illa Allah bisa dari hitungan 100, 1000 hingga 10.000 kali. Membaca surah al-Ikhlas bisa dari hitungan 100 hingga 1000 kali. Membaca ayat Kursi 40 kali. Membaca Isim Jalaalah ‘Allah’ 5000 hingga 10.000 kali dengan lisan dan hati,” sambungnya.
Lebih lanjut beliau menuturkan, bagi yang masih memiliki tanggungan qadha shalat, segera selesaikan hutangnya. Bagi yang masih memiliki tanggungan qadha puasa, segera selesaikan hutangnya.
“Bagi yang berkenan menjalani shalat dan puasa dengan dihadiahkan untuk orang lain, maka lakukan. Bila tidak tahu nama seseorang yang ingin dihadiahi, niatkan untuk hadiah shalat atau puasa kepada umat nabi Muhammad, berikan pahalanya untuk mereka. Bagi yang mampu sedekah, maka jalanilah semampunya, Allah SWT akan melipat gandakan dengan berlipat-lipat,” tuturnya.
Mantan Ketua Persatuan Santri Lenteng (Persal) Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk ini juga mengulas tentang asal usul bulan Sya’ban itu disebut Ruwahan.
“Ruwah atau Ruwahan dalam istilah Jawa memiliki arti Ruh yang bentuk jamaknya adalah arwah. Bulan Ruwah bagi orang Jawa berarti bulan Sya’ban di mana terdapat tradisi pulang kampung untuk mendoakan sanak familinya yang telah meninggal dunia,” katanya.
“Mereka berziarah ke makam untuk memohonkan maaf bagi ruh nya. Istilah lainnya adalah Nyadran atau Ruwahan. Spirit dari tradisi ini adalah berdoa untuk memohonkan ampunan bagi mereka yang telah meninggal. Apalagi bulan Sya’ban dikenal sebagai bulan yang istimewa dalam hal bulan mustajabah. Jadi, ruwah ini merupakan inkulturasi budaya antara Islam dan Nusantara yang memiliki tujuan baik,” lanjut beliau.
Kemudian ia menegaskan, berdasarkan riwayat dan dalil yang muktabarah, maka tradisi Sya’ban haruslah dilakukan dengan memperbanyak ibadah seperti puasa sunah, dzikir, istighfar dan membaca Al-Qur’an (surah Yasin 3 kali saat malam Nisfu Sya’ban secara bersama-sama di Masjid).
Amaliah itu, menurutnya, tentu adalah bekal untuk diri sendiri terutama agar lebih memahami sebagai hamba-Nya yang selalu bersyukur dan menyadari atas kekhilafan dan dosa. “Juga agar kita semakin siap menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah, Rahmah, dan ampunan,” tandasnya.
Editor : Firdausi