Image Slider

Mengurai Hikmah di Balik Kemarahan Rasulullah

Sebelum membahas lebih jauh mengenai fenomena marah, penting untuk terlebih dahulu memahami makna dasar dari emosi ini. Dalam tradisi bahasa Arab, marah dikenal dengan istilah ghadhab, yang merupakan antonim dari ridha (kerelaan atau kepuasan). Marah tidak selalu bermakna negatif; justru, dalam konteks tertentu, marah dapat menjadi bentuk reaksi positif, khususnya ketika didasarkan pada pembelaan terhadap nilai-nilai agama dan kebenaran.

Sebaliknya, marah yang tercela adalah marah yang tidak terkendali dan didasari oleh hawa nafsu, yang dalam ajaran Islam dilarang. Dalam kajian ini, kita akan mendalami bagaimana Rasulullah ﷺ mengekspresikan kemarahan, sekaligus memahami hikmah serta etika yang melandasi sikap beliau. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk melihat marah bukan hanya sebagai luapan emosi, melainkan sebagai ekspresi yang dapat diarahkan pada kebaikan bila disertai dengan kebijaksanaan dan pengendalian diri.

Ketika suatu saat seorang sahabat meminta nasihat, Rasulullah saw. berwasiat, “Jangan marah!” Orang itu mengulanginya berkali-kali, beliau menjawab, “Jangan marah!” (HR al-Bukhari). Di kesempatan yang lain, beliau bersabda, “Orang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat; orang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan diri ketika marah,” (HR al-Bukhari).

Kisah gara-gara dimintai keringanan hukum untuk Perempuan pencuri. Dalam sebuah riwayat yang dicatat oleh Imam Muslim, disebutkan bahwa Abu al-Thahir dan Harmalah meriwayatkan dari Ibn Wahab, yang mendapatkan kisah ini melalui Yunus ibn Yazid dari Ibn Syihab, yang bersumber dari Urwah ibn al-Zubayr, berdasarkan penuturan Aisyah r.a., istri Rasulullah ﷺ.

Dikisahkan bahwa pada masa Fathu Makkah, terjadi peristiwa seorang perempuan dari kalangan terhormat Bani Makhzum yang tertangkap basah mencuri. Peristiwa ini mengundang perhatian besar di kalangan Quraisy. Mereka berdiskusi tentang siapa yang pantas membicarakan masalah ini kepada Rasulullah ﷺ, dan akhirnya menunjuk Usamah ibn Zayd, sahabat yang sangat dicintai Rasulullah.

Ketika Usamah menyampaikan permohonan keringanan hukuman untuk perempuan tersebut, raut wajah Rasulullah ﷺ berubah, menandakan ketidaksenangan beliau. Rasulullah kemudian bersabda, “Apakah engkau meminta syafaat untuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum Allah?” Usamah pun memohon ampun atas tindakannya itu.

Pada sore harinya, Rasulullah ﷺ menyampaikan khutbah kepada masyarakat. Setelah memuji Allah, beliau menjelaskan bahwa kebinasaan umat-umat terdahulu disebabkan oleh ketidakadilan: mereka membiarkan orang-orang terpandang lolos dari hukuman, sementara rakyat kecil dihukum dengan tegas. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa beliau tidak akan bertindak demikian. Beliau bersumpah, “Demi Allah yang menguasai jiwaku, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Setelah pernyataan tersebut, Rasulullah memerintahkan agar hukuman terhadap perempuan itu dilaksanakan. Aisyah r.a. kemudian menuturkan bahwa setelah menjalani hukuman, perempuan itu bertobat dengan sungguh-sungguh, memperbaiki dirinya, dan akhirnya menikah. Suatu hari, ia mendatangi Aisyah untuk suatu keperluan, yang kemudian disampaikan oleh Aisyah kepada Rasulullah ﷺ. (hal. 104).

Kisah lain gara-gara perpecahan dan tidak berpegang pada ajaran Allah. Dalam riwayat Sa’d ibn Abi Waqqash r.a., diceritakan bahwa saat Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, orang-orang Juhainah mengusulkan perjanjian damai dan kemudian memeluk Islam. Pada bulan Rajab, Rasulullah ﷺ mengutus pasukan kecil untuk bergerak ke wilayah Bani Kinanah. Menghadapi musuh yang lebih besar dan penolakan perlindungan dari Juhainah karena bulan suci, pasukan Muslim terpecah pendapat: sebagian ingin melapor kepada Rasulullah, sebagian lainnya, termasuk Sa’d, memilih menyerang kafilah Quraisy. Rasulullah ﷺ menegur perpecahan tersebut, mengingatkan bahwa kehancuran umat terdahulu disebabkan oleh perpecahan. Beliau kemudian mengangkat Abdullah ibn Jahsy sebagai pemimpin, karena ketabahannya, menjadikannya amir pertama dalam Islam (hal. 191).

Buku yang berharga ini menguraikan berbagai hadis yang menggambarkan momen-momen ketika Rasulullah ﷺ menunjukkan kemarahan. Diceritakan bagaimana beliau bereaksi ketika menemukan hal-hal yang tidak beliau sukai di lingkungan keluarga, di tengah para sahabat, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat.

Beberapa fokus pembahasan dalam buku ini meliputi faktor-faktor yang memicu kemarahan Rasulullah, alasan-alasan yang melatarbelakangi ekspresi kemarahan beliau, serta cara Rasulullah mengelola emosinya dengan penuh kebijaksanaan saat menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan.

Terdapat sekitar 61 kisah yang dituturkan dalam buku ini, banyak di antaranya dilengkapi dengan penjelasan dari para ulama besar seperti Ibnu Katsir, Imam al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan lainnya.

Dari kisah-kisah ini, tampak jelas bahwa kemarahan Rasulullah bukanlah ekspresi dari kepentingan pribadi atau ego kelompok, melainkan bentuk ketegasan dalam menjaga prinsip-prinsip Islam dan memperbaiki hubungan sosial. Kemarahan beliau selalu terarah pada waktu, tempat, dan cara yang tepat, sehingga berfungsi sebagai mekanisme untuk mencegah kemungkaran dan melindungi kebaikan. Melalui teladan ini, kita belajar pentingnya etika dalam mengendalikan amarah serta hikmah dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.

Identitas Buku

Judul                    : Ketika Rasul Marah Memahami Hikmah dan Etika di Balik Kemarahan Nabi saw.
Penulis                  : Muhammad Ali Utsman Mujahid
Penerbit             : Qaf
Cetakan             : Agustus 2023
Tebal                    : 300 halaman
ISBN                     : 978-602-5547-42-3

*Amrullah, Gapura.

ADVERTISIMENT

sosial mediaFollow!

16,985FansSuka
5,481PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan

Rekomendasi

TerkaitBaca Juga!

TrendingViral!

TerbaruBaca Juga