Oleh: Firdausi
Tradisi masyarakat Madura adalah menjunjung tinggi etika, tata krama, akhlak, dan tengka, yang semuanya tersebut dikatakan andhap asor atau rendah hati terhadap sesama. Walaupun orang Madura dikenal keras oleh orang lain, namun hakikatnya sangat menghormati dan menjunjung tinggi kesopanan.
Nilai-nilai tersebut kerap merujuk pada ajaran agama Islam, seperti halnya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pendidikan agama merupakan faktor utama yang bisa mendorong generasi muda bisa berlaku sopan dan santun kepada sesama. Seperti halnya petuah yang sering didengar; patao ajhalan, jhalana jhalane, patao neng-neng, patao acaca. Artinya, seseorang harus menjalankan kewajibannya sesuai aturan yang berlaku, harus tahu kapan waktunya diam dan kapan saatnya berbicara. Contoh lainnya yang sering diungkapkan oleh tetua ialah, tempata tempate, kennenga kennenge, jhalana jhalene. Artinya, kita diminta untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya dan berjalan pada jalan yang semestinya.
Bagi kaum tradisionalis, keunggulan fisik bukan sesuatu yang menjadi ukuran kualitas seseorang. Seperti halnya petuah lainnya; oreng reya banne bhaghussa, tape tatakramana, sanajjan bhaghus tape tatakramana jhuba’, ta’ cellep ka ate. Maksudnya, seseorang itu bukan dinilai karena ketampanan atau kecantikannya, tetapi tata kramanya. Segagah atau secantik apa pun seseorang, jika tatakramanya jelek, maka keindahannya tidak akan mampu menyejukkan hati.
Di lain sisi, konsep rumah dalam tradisi Madura dikenal dengan taneyan lanjhang atau halaman panjang. Tata letak rumah semacam itu memiliki kaitan dengan sebuah konsep sopan santun. Seperti letak langgar atau musala kecil yang lumrah diletakkan di sisi barat, yang menjadi pusat keagamaan atau ubudiyah, lalu rumah orang tua, kemudian menantu dan anak tertuanya, dan seterusnya. Bahkan atap rumah bagian depan dibangun rendah untuk mengingatkan pada penghuninya agar terus menunduk, tidak berlaku atau bersikap sombong.
Dengan demikian, tata krama adalah hiasan yang bukan hanya indah, tetapi juga baik dan benar bagi seseorang yang beriman dan bertakwa. Seperti halnya dikatakan oleh Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabu Al-Alim wa Al-Muta’allim, bahwa Rasulullah SAW adalah barometer terlengkap. Segala hal harus diukur berdasarkan akhlak, amaliah, dan petunjuk dari beliau. Jika sesuai, maka itu yang benar, namun jika tidak selaras, berarti itu batil.
Menurutnya, jika seseorang memiliki iman dan memiliki ilmu syariat, tetapi tidak punya tata krama, maka akan hilang kemuliaannya. Karena, muara keimanan dan ilmu ialah tata krama. Semakin baik tatakramanya, maka akan mengangkat derajat dan kehormatan seseorang. Karena akhlak menjadi acuan utama dalam rangkaian perbuatan manusia dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
*) Direktur NU Online Sumenep