Profesi petani bukanlah hal gengsi bagi seorang petani asal Desa Aengbaja Raja, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang sukses memelopori pertanian organik, yakni teknik budidaya pertanian yang berorientasi pada pemanfaatan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintesis seperti pupuk dan pestisida.
Meski berprofesi sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sumenep, kiai Moh. Halili (48) juga gemar bertani bersama istrinya, Luthfaturrahmah (45).
“Orang tua saya semuanya petani. Meski saya seorang ASN, tapi saya tidak bisa lepas dari dunia pertanian yang telah mengajari banyak hal untuk bertahan hidup saat tinggal di Pulau Giliraja,” ujar pria yang yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep ini, Kamis (21/05/2024).
Pria yang akrab disapa kiai Halili menuturkan bahwa dirinya menanam kacang tanah yang dikelola secara organik. “Tanpa pupuk kimia bikinan pabrik, cuma menggunakan abu sampah dicampur kotoran ternak,” imbuhnya.
Meski demikian, hasil tanaman kacang tanah miliknya tidak kalah dengan para tetangganya yang menggunakan pupuk kimia atau pabrikan.
“Kemarin saya panen kacang tanah di lahan seluas 1.200 meter persegi. Biaya bibit dan biaya produksi sekitar Rp1.481.000, hasil penjualan Rp4.550.000, keuntungan sekitar Rp3.069.000. Alhamdulillah ada laba bersih yang cukup signifikan,” terangnya.
Pria yang saat ini juga menjabat Ketua Ikatan Penyuluh Agama Islam Republik Indonesia (IPARI) Kabupaten Sumenep mengungkapkan, pihaknya menolak bahan kimia di lahan pertaniannya, berawal dari timbulnya kesadaran akan dampak negatif bahan kimia bagi tanaman pada 2010 silam.
Menurut kiai Halili, perilaku penggunaan bahan kimia terhadap tanaman diyakini juga menyumbang munculnya beragam penyakit bagi masyarakat yang mengonsumsi hasil tanaman tersebut. “Ini yang kurang diketahui dan tidak disadari oleh para petani kita,” paparnya.
Salah satu contohnya, beber kiai Halili, adalah kacang tanah. Bagi pengidap asam urat dan kolesterol, komoditas ini dianggap musuh dan harus dijauhi.
“Hal ini didukung teori kedokteran yang memasukkan kacang tanah menjadi salah satu jenis makanan yang tak boleh dikonsumsi bagi penderita penyakit tertentu,” sambung pria asal Pulau Giliraja ini.
Namun, teori tersebut tak berlaku untuk kiai Halili. Di tengah usianya yang hampir memasuki setengah abad ini, dia justru tidak absen menyantap kacang tanah yang diperoleh dari lahan yang terletak di Desa Karangcempaka, Kecamatan Bluto.
“Alhamdulillah, sampai saat ini asam urat dan kolesterol saya normal, tentu saja disertai dengan doa dan olahraga yang cukup,” timpalnya.
Kiai Halili berharap kepada para petani di sekitarnya dan nahdliyin Sumenep agar tidak memiliki ketergantungan terhadap pupuk kimia atau bahan pestisida lainnya.
Selain perlahan bisa mengembalikan kesehatan tanah dari unsur pestisida atau kimia, hasil pertanian juga terjamin lebih sehat karena tidak terkontaminasi oleh bahan kimia hasil pabrik.
“Ini juga menjaga warisan para leluhur kita yang bertani secara alami serta lebih sehat. Dan yang tak kalah penting juga adalah menghemat biaya,” pungkasnya sambil tersenyum.
Selain bertani kacang tanah, Halili juga memiliki kebun pisang di Desa Palongan dan beberapa lahan pertanian lainnya di Dusun Pongkeng, Desa Aengbaja Raja. Semuanya dikelola secara alami tanpa bahan kimia hasil pabrik.