Munculnya kelompok intoleran, mudah mengkafirkan sesama muslim yang tidak sepaham dengan kelompoknya, masih menjadi problem yang sejak dulu ada hingga saat ini, tentunya bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut dan dibangun bangsa Indonesia.
Sebenarnya Islam adalah agama yang Rahmat, ramah dan menghendaki kemudahan bagi pemeluknya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عنه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ تُشادَّ الدِّيْنَ أحَدٌ إِلَّا غَلَبهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالغَدوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِن الدُّلْجَةِ (رواه البخاري)
Artinya: Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berbuatlah yang tengah-tengah kalian, mendekatlah (kepada yang sempurna walaupun tidak bisa sempurna) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah kepada Allah (doa) di pagi hari, sore hari dan sebagian waktu malam.
Pemahaman dan perilaku beragama yang ketat, sempit, cenderung memberatkan akan melahirkan sikap yang kaku, terbebani, mudah lelah dan bosan. Cenderung suka menyalahkan yang tidak sama, bahkan mengkafitkan lainnya. Oleh karena itu, Ibn al-Atsir dalam hadits memakai kata فسددرا dengan;
اطْلُبُوا بِأَعْمَالِكُمُ السَّدَادَ وَالإِسْتِقَامَةَ، وَهُوَ الْقَصْدُ فِي الْأمْرِ وَالْعَدْلُ فِيْهِ (النهاية: ج ٤، ص ٣٢)
Artinya: Lakukanlah amal-amal ibadahmu dengan sederhana (tidak berlebihan serta tidak enteng) dan istiqamah (konsisten). Karena itu yang disebut dengan moderat dan sederhana.
Dengan demikian, sikap wasathiyah (moderat) tidak akan menjadikan orang ekstrem yang mengandalkan teks saja dan tidak mengandalkan nalar saja. Karena praktik amaliyah tawassuth (mengambil jalan tengah), tawazun (berkesimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleran), musawah (egaliter), syura (musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif), tahadhdhur (berkeadaban).
Editor: A Zubairi Karim