Kota, NU Online Sumenep
Syaikhonan Muhammad Cholil bin Abdul Lathif Bangkalan dikenal sebagai ulama kharismatik di masa lampau. Kiprah dan karyanya hingga kini masih terus dijadikan rujukan masyarakat. Bahkan telah banyak mencetak ulama-ulama besar, salah satunya Pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Syaikhona Kholil adalah perestu berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama. Kala itu, melalui perantara KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Syaikhona Kholil mengirimkan tongkat dan kutipan Ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 untuk diberikan kepada Mbah Hasyim sebagai isyarah berdirinya NU.
Namun demikian, salah seorang dzurriyah Syaikhona Kholil yang juga Ketua PCNU Bangkalan RKH Muhammad Makki Nasir mengungkapkan sejumlah fakta yang tak banyak diketahui publik. Menurutnya, Syaikhona Kholil tidak hanya sebagai perestu berdirinya NU. Lebih dari itu, beliau memiliki kontribusi besar dalam membangun peradaban bangsa, yang kelak menjadi embrio lahirnya NU.
“Ini ada hal yang mengganjal. Kalau beliau hanya perestu saja, kenapa lengkap dengan isyarah berupa tongkat dan kutipan ayat Al-Qur’an,” ungkapnya dikutip dari YouTube NU Online, Rabu, 17 Juli 2024.
Setelah mengkaji sejarah dari berbagai sumber, ditemukan sejumlah fakta tentang kontribusi besar Syaikhona Kholil. Pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro, masyarakat Indonesia tengah memasuki era modern. Hal itu dapat dilihat dari perubahan sistem pemerintahan, dari monarki atau kerajaan ke nation atau bangsa-bangsa.
Bahkan pergerakan Pangeran Diponegoro kala itu sampai membuat Belanda menerapkan politik yang memisahkan antara kalangan keraton dan pesantren. Sebab, Pangeran Diponegoro adalah keluarga keraton yang juga santri dan ahli thariqah.
Peran pesantren dalam membangun peradaban dan mencerdaskan anak bangsa tidak bisa dinafikan. Sedari awal, pesantren tidak hanya mengajarkan nilai-nilai agama, tetapi juga nilai-nilai kebangsaan. Hal itu dapat dilihat dari materi Pelajaran yang diterapkan, salah satunya bahasa daerah.
“Pengaruh beliau [Pangeran Diponegoro] cukup kuat saat itu. Hanya dalam waktu 5 tahun mampu membangkrutkan Belanda. Bahkan Belanda tak ingin pasca perang, muncul orang-orang seperti Pangeran Diponegoro. Sehingga memisahkan keluarga keraton dan pesantren dengan membuat sekolah khusus kaum bangsawan,” tambahnya.
Dari sekolah-sekolah itu kemudian lahir kaum modernis dengan nilai-nilai dan pengetahuan agama yang sangat minim. Keberadaan sekolah buatan Belanda itu terus menjamur dan banyak melahirkan orang-orang yang modernis.
Atas dasar itu, Kiai Makki mengungapkan, pada tahun 1895 terjadi pertemuan penting beberapa ulama besar kala itu. Di antaranya Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, Syeikh Nawawi Banten, dan Kiai Sholeh Darat serta beberapa tokoh lainnya. Pertemuan itu terjadi di Alas Roban, Jawa Tengah agar tak terdeteksi oleh Belanda.
”Ya tentu yang dibicarakan tentang keumatan, agama, situasi politik dan sebagainya. Saya yakin juga yang dibicarakan politik Timur Tengah,” ungkap Kiai Makki menceritakan.
Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan ke daerah masing-masing untuk melanjutkan dakwah. Syaikhona Kholil kembali ke Bangkalan untuk mengkader dan mendidik para santri, Kiai Sholeh Darat mengkader dan mengajar para kaum bangsawan. Sedangkan Syeikh Nawawi Banten kembali ke Makkah.
”Namun 2 tahun dari pertemuan itu, Syeikh Nawawi Banten wafat, tepatnya pada tahun 1897. Berkat didikan Kiai Sholeh Darat, muncullah RA Kartini. Sosok penting di kalangan perempuan tanah air. Ia diketahui tak hanya mumpuni di bidang ilmu politik, tetapi juga dalam ilmu Al-Qur’an dan agamanya. RA Kartini kemudian membuat buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Ternyata ajaran Islam begitu hebat, rahmatan lil ’alamin betul,” paparnya.
RA Kartini juga meminta Kiai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an dengan bahasa daerah agar mudah dipahami orang-orang pribumi. Dari situ kemudian terbangun pemikiran dan sikap dari kaum bangsawan yang berlandaskan kepada nilai-nilai Al-Qur’an.
”Begitu penting peran Kiai Sholeh Darat Semarang ini dalam membentuk karakter kaum bangsawan. Yang mana ketika itu komunitas modernis menjamur kuat,” ujanrya.
Adapun Syaikhona Kholil Bangkalan mengkader dan mendidik para santri agar makin terasah potensinya. Bahkan sejak awal, menurut Kiai Makki, Syaikhona Kholil telah mengajarkan cinta tanah air. Hal itu ditemukan dalam salah satu kitab karangan beliau yang ditulis tahun 1891 silam, sebelum pertemuan dengan para ulama di Alas Roban.
”Beliau menulis hubbul authan minal iman… alhadits. Ini ditemukan oleh tim turots. Ini adalah bukti bahwa ajaran mencintai tanah air sudah diajarkan di pesantren. Meskipun banyak yang memprotes bahwa itu tidak ada haditsnya,” ungkap Kiai Makki.
Tim turots bersama Aswaja NU Center melakukan penelitian dengan merujuk kepada sejumlah dalil. Maka ditemukanlah hadits Shohih Bukhari, bahwa Rasulullah SAW pernah berdoa: Allahumma habbib ilainal-madinah, kahubbina makkata au asyaddah. (Berilah kami cinta kepada Kota Madinah, sebagaimana cinta kami kepada Makkah, bahkan lebih).
Sebagai panutan umat, Rasulullah SAW dalam tindakannya selalu didasari oleh keimanan. Karena Rasulullah adalah paling hebatnya orang-orang yang beriman. Oleh karenanya, cinta Rasulullah kepada Madinah juga dilandasi oleh keimanan. Itulah yang kemudian menjadi landasan tulisan Syaikhona Kholil tentang hubbul authan minal iman dalam karya kitabnya.
”Dan ajaran mencintai tanah air bagian dari keimanan ini diajarkan Syaikhona Kholil kepada para santri-santrinya. Dan ini digaungkan pula oleh Kiai Hasyim Asy’ari menjadi hubbul wathan minal iman. Ketika di era sebelum nation, masih di era kerajaan, tulisannya masih authan,” terangnya.
Dua ulama besar yang sepakat berbagi peran atas hasil musyawarah di Alas Roban itu kemudian masuk ke era kebangkitan nasional tahun 1900-an. Maka di situ mulai bermunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat sektoral. Di bidang pendidikan ada Budi Oetomo, di kalangan saudagar ada Sarekat Islam atau SI, dan sebagainya.
”Akan tetapi organisasi ini mudah dipecah belah oleh Belanda. Organisasi Islam besar kala itu bernama SI berhasil dipecah, menjadi SI merah, yang kemudian menjadi embrio lahirnya PKI, ada aliran transnasional yang melabrak amaliyah ulama-ulama pesantren kala itu,” ulasnya.
Sehingga tidak heran pada tahun 1912 sampai 1918 para santri di Surabaya, yang notabene adalah santri Syaikhona Kholil tidak mau ketinggalan dalam pergerakan era kebangkitan nasional itu. Mereka kemudian mendirikan Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar dan Nahdlatuttujjar, yang juga bersifat sektoral. Tiga organisasi inilah yang kelak menjadi cikal-bakal berdirnya NU.
Diceritakan Kiai Makki, bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin, sebagai pelaku sejarah berdirinya NU pernah mengungkapkan satu fakta penting. Bahwa pada tahun 1920 para ulama berkumpul di Bangkalan. Mereka resah dengan situasi yang menyelimuti bangsa Indonesia ketika itu. Khususnya terkait keberlangsungan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah karena mendapatkan tekanan dari kanan dan kiri.
”Sehingga rasa kekhawatiran ini memuncak, tak ada solusi, kumpul di Bangkalan, minta dawuh arahan dari Syaikhona Kholil,” ungkap Kiai Makki menceritakan.
Syaikhona Kholil mengutip salah satu ayat dalam Qur’an Surah Ash-Shaff:
رِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ
Artinya: Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, sedangkan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak menyukai.
“Mendengar ayat yang dibacakan Syaikhona Kholil yang dipesankan kepada salah satu santrinya untuk disampaikan kepada ulama yang kumpul di rumahnya Ndoro Muntaha sekaligus keponakan, para ulama langsung puas,” jelasnya.
Kiai Makki lantas menjelaskan maksud daripada kutipan ayat tersebut. Bahwa penjajah dan kelompok lain yang berseberangan di Bumi Pertiwi ini menghendaki padamnya nulullah atau cahaya agama Islam. Bukan agama Islamnya. Maka tak ayal jika kemudian muncul banyak orang yang semangat beragamanya tinggi tetapi tidak ada rasa empati sama sekali.
”Orang beragama Islam hanya akan menjadi perusak, tidak akan bisa menciptakan rahmatan lil ’alamin. Sehingga tidak muncul kedamaian dan ketentraman,” tandasnya.
Dari fakta sejarah yang diungkap Kiai Makki ini kian melengkapi pengetahuan tentang sosok Syaikhona Kholil. Bahwa beliau bukan hanya sebatas perestu bedirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama, melainkan juga memiliki kontribusi besar di dalam membangun peradaban dan mencetak generasa bangsa yang kelak menjadi ulama-ulama besar.
Editor: A Habiburrahman