Beberapa buku seakan memang ditulis untuk menjadi teman bicara bagi kita. Menjadi salah satu teman yang mengajak kita untuk berpetualang pada obrolan seru ihwal segala hal yang sedang atau telah kita lewatkan dalam hidup. Sangat menyenangkan jika memang demikian. Beberapa buku juga seakan merangsang ingatan kita untuk kembali merefleksikan segala hal yang terjadi. Salah satunya dengan membaca buku ‘Kehidupan Setelah Jam 5 Sore’ yang ditulis oleh Alifah Farhanah ini.
Buku dengan tebal 227 halaman tersebut terdiri dari beberapa tema esai yang didasarkan pada pengalaman pribadi penulis. Bahasa yang disajikan pun sangat santai, renyah, dan mudah dipahami. Beberapa pembaca bisa jadi akan terbawa pada pengalaman-pengalaman yang disajikan oleh penulis di dalamnya karena—mungkin saja—ada banyak sisi relatable dengan keadaan pembaca.
Ada sekitar 30 esai pendek yang tersaji dalam buku terbitan Buku Mojok ini. Alifah, sebagai penulis, memberikan sentuhan-sentuhan pelajaran elegan namun dengan cara yang santai. Kerumitan, senang, beban hidup, dan segala hal yang terjadi di usia mudanya dikisahkan dengan sebegitu apiknya dalam tulisan-tulisannya itu.
Alifah sebagai penulis memberikan perspektif sendiri dengan segala hal yang terjadi dalam hidup. Semua hal yang melingkupi, sejak konflik, pershabatan, percintaan, pertemanan, sampai pekerjaan dia usung sebagai latar dalam tulisan-tulisan renyahnya. Termasuk juga dalam mengambil keputusan-keputusan yang ada, Alifah tak segan mengupasnya sambil lalu memberikan keputusan yang solutif.
Beberapa cerita yang dikemas menjadi esai ringan di dalamnya membuat saya lebih sedikit memiliki gambaran tentang hidup. Ihwal bagaimana saya harus bertindak, menentukan cara-cara yang lebih bijak untuk menempuhnya, sekaligus bisa bersyukur dengan alur hidup saya yang sedang, telah, dan akan berjalan ini. Saya menjadi lebih siap untuk menjalaninya, sederhananya begitu.
Esai berjudul ‘SPBU’ (dalam buku tersebut) merupakan salah satu tulisan dengan judul pendek yang akhirnya membuat saya memiliki banyak referensi dalam mengartikan hidup, bagaimana kita bisa menentukan pilihan, dan menentukan tujuan dalam hidup. Sebab di dalamnya, hidup selalu menawarkan kita banyak pilihan, dari yang mudah sampai yang sulit sekalipun. Lantas kita harus gimana? Mau tidak mau kita harus berani memilih salah satunya sebagai tujuan yang kita legitimasi sendiri, tujuan paling sah.
Kehidupan diibaratkan dengan perjalanan, SPBU dan rest area adalah tempat pemberhentian. Kita berhenti untuk menuju tujuan kita yang penting, bukan lantas berhenti di SPBU sebagai pilihan atau tujuan utama. Kita harus menentukan tujuan utama kita (tujuan yang akan dituju dalam sebuah perjalanan), bukan menjadikan SPBU sebagasi tujuan akhir.
Karena kehidupan memberikan kita banyak pilihan, maka kita pun harus memilih, itupun harus menentukan salah satunya, tidak bisa memilih dua sekaligus dalam dua pilihan yang ditawarkan. Sebab —sebagaimana kalimat yang digunakan Alifah dalam bukunya— tidak ada utara saat kita memilih selatan, tidak ada hitam saat kita justru memilih putih. Hidup selalu memberikan pilihan itu, dan kita juga harus menentukan salah satunya.
Begitu juga dengan ihwal memilih hal-hal mana yang harus kita masukkan dalam otak (pikiran), dan mana saja yang harus kita masukkan ke perasaan. Tulisan lainnya berjudul Koper dan Ransel berhasil mengajari saya dalam menentukan itu.
Penulis dalam hal ini memberikan sebuah analogi (perumpamaan). Menurutnya, hati dan akal itu diibaratkan ransel dan koper. Beberapa barang harus diletakkan di koper, beberapa lainnya cukup diletakkan di ransel saja. Ini bisa dilakukan agar ransel atau koper tidak mengalami kelebihan muatan (overload). Sekaligus —dengan cara itu— agar koper atau ransel tidak diisi dengan barang-barang yang tidak penting.
Begitu juga dengan hal-hal dalam hidup kita, sebagian harus disimpan dalam akal, namun sebagian yang lain hanya bisa diletakkan dalam hati. Bahkan, beberapa hal dalam hidup tidak perlu sekaligus dimasukkan dalam otak dan hati kita, bisa diambil hal-hal pentingnya saja. Oleh karena itu, saya harap kita bisa menjadi selektor yang selektif.
Esai pada halaman 69 dengan tajuk ‘Kehidupan Setelah Jam 5 Sore’ yang akhirnya menjadi tajuk utama buku ini, bisa kita baca sebagai rujukan dan bukti bahwa tempat pulang (penulis membahasakannya dengan kehidupan setelah jam 5 sore) sebagai tempat yang paling penting dalam hidup.
Tempat pulang adalah tempat kita melepas capek, menjadi diri kita yang sebenarnya, rehat dari segala kelelahan yang ada. Tempat pulang juga bermacam-macam, sebagaimana digambarkan dalam buku, bisa berupa keluarga, teman kost, kampung halaman, dan lainnya. Maka, sesibuk apapun kita (misal diberi pilihan antara karir atau tempat pulang), tempat pulang selaiknya dijadikan prioritas. Wallahu a’lam.
Judul buku: Kehidupan Setelah Jam 5 Sore
Penulis: Alifah Farhanah
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: 227 halaman
Tahun terbit: 2022
ISBN: 978-623-7284-77-2
Pemesanan: 0819-5254-4885
Peresensi: Aqil Husein Almanuri*)
*) Aqil Husein Almanuri, adalah mahasiswa IAIN Madura asal Gapura, Sumenep.