Guluk-Guluk, NU Online Sumenep
Jika kita menelisik santri secara umum, kita akan menyaksikan bahwa klaim santri sebatas orang yang menekuni ilmu agama sepenuhnya. Namun akhir-akhir ini dapat disaksikan secara langsung bahwa kehidupan santri memiliki disiplin ilmu yang memberikan ruang dalam mengolah rasa.
Demikian penjelasan K. M. Faizi saat menjadi penyaji 1 dalam kegiatan Orientasi dan Penerimaan Anggota Baru (OPABA) Sanggar Kotemang Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Selasa-Jum’at (12-15/11/2024) di aula setempat.
Menurutnya, santri dan seni seringkali digambarkan dunia yang berbeda, sulit dipertemukan.
“Santri dianggap orang yang memperdalam ilmu agama, di dalamnya berisi norma dan aturan, sementara seni mengekspresikan sebuah gagasan, kebebasan dan kreativitas,” jelas Sastrawan Nasional itu.
Di beberapa pesantren masih ada persilangan pendapat yang tak bisa terelakkan. Tapi pada kenyataannya, kehidupan pesantren yang sangat beragam sebetulnya dekat sekali dengan seni.
“Bisa dijumpai hampir kebanyakan santri di seluruh pesantren bersinggungan langsung dengan bentuk kaligrafi (rupa), nadzaman (sastra), dan rebana (musik). Bahkan pada tataran yang lebih luas kebiasaan santri dalam menyambut ulang tahun pesantren sering kali mementaskan kesenian baik dekorasi panggung, busana, baca puisi, menyanyi, pertunjukan wayang, musik, dan tari,” tambah Kiai Faizi.
Jadi, pesantren yang sejatinya pendidikan Islam, hendaklah nilai estetika berupa seni menjadi salah satu patokan yang penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan pendekatan estetis-moral.
“Di mana persoalan pendidikan Islam bisa dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu santri, kiai, pemerintah, serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan pesantren diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, bermoral, dan berseni (sesuai dengan Islam),” pungkas Kiai Faizi.
Sementara itu, penyaji 2 Mahendra Cipta menjelaskan dalam seni pertunjukan, terdapat suatu seni yang dikenal dengan nama teater.
“Teater pada dasarnya termasuk seni pertunjukan di atas panggung. Istilah teater ini memiliki kisah asal usul yang unik,” ucapnya Rabu (13/11/2024).
Menurutnya, kata teater berasal dari kata bahasa Yunani kuno, yaitu theatron yang artinya sebuah pementasan yang berkaitan tentang mengkolaborasikan gerak, musik, tari, dan lainnya.
“Selain itu, terdapat pula kajian pengertian teater secara luas, yaitu suatu proses pemilihan sebuah teks atau naskah, penafsiran, penyajian, penggarapan atau pementasan, dan proses pemahaman atau penikmatan yang berasal dari publik atau pirsawan yang mencakup penonton, pembaca, pengamat, serta kritikus,” tambah Seniman Sumenep ini.
Secara umum, terdapat beberapa jenis teater yang ditampilkan di khalayak umum yaitu Teater Drama, Teater Experimental, Teater Budaya, Teater Politik, dan Teater Musikal.
“Teater sebagai sarana pendidikan. Seni teater dan pendidikan selalu beriringan, sekalipun masyarakat tidak menyadari bahwa teater merupakan bagian dari cara masyarakat dalam mendidik generasi penerusnya. Hal ini berguna untuk meningkatkan rasa percaya diri seorang anak yang tengah berada dalam masa perkembangan,” pungkas Mahendra.
Kemudian, Khairuz Zaman sebagai penyaji 3 mengutarakan bahwa sastra pesantren dalam beragam bentuknya hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syiir, nadzaman adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis ulang hikayat, hingga membuat karya-karya baru, baik lisan maupun tulisan.
“Karya-karya tersebut dibacakan dimana-mana. Didengar oleh orang tua dan muda secara bersama-sama. Karya-karya sastra tersebut dipandang sebagai milik mereka, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga memiliki karakter komunal, karena berpadu rapat dengan kehidupan masyarakatnya,” jelasnya Kamis (14/11/2024)
Maka, berbicara tentang sastra pesantren bukan sekedar soal kehadiran suara komunitas pesantren dalam produksi sastra. Tapi juga sebuah perbincangan tentang subyektifitas kreatif kalangan pesantren dalam berkebudayaan.
“Dalam sejarahnya sastra pesantren ditulis menggunakan huruf Pegon, dengan beragam bahasa Nusantara. Kandungannya bermacam-macam, mulai dari cerita roman, ada yang mengandung sejarah dan realitas sosial, hingga cerita-cerita yang dipenuhi tema-tema moralitas dan kepahlawanan,” lanjut Khairuz.
Meski beragam, tapi mengandung atau melukiskan kenyataan sosial, bahkan terkesan realis, yang melibatkan tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.
“Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan,” terangnya.
Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra.
“Pujangga-pujangga kraton, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat, dan babad. Sumber inspirasi mereka bukan hanya kitab kuning, melainkan juga pengalaman sejarah bangsa ini sendiri sebagaimana dialami oleh kerajaan Hindu-Budha dan zaman Wali Songo,” pungkasnya.
Editor: Firdausi