Rasulullah Saw. dikenal sebagai pribadi yang hangat dan akrab dalam berinteraksi dengan para sahabat. Beliau tak hanya berdialog serius, tetapi juga menyelipkan canda dalam pergaulan sehari-hari, bahkan kepada anak-anak dan para pelayan. Salah satu contohnya adalah ketika beliau memanggil Anas bin Malik r.a.—yang kala itu menjadi pelayan beliau—dengan sapaan jenaka, “Wahai yang punya dua telinga!” Sebuah panggilan yang membuat Anas merasa bahagia dan dihargai.
Aisyah r.a. juga meriwayatkan momen penuh kehangatan ketika beliau berkata pada Rasulullah dalam suasana santai, “Wahai Rasulullah, doakan aku kepada Allah!” Rasul pun berdoa, “Ya Allah, ampunilah Aisyah—dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.” Mendengar doa tersebut, Aisyah tertawa terbahak hingga kepalanya menyentuh pangkuan Rasulullah. Ketika Rasul bertanya, “Apakah engkau senang dengan doa itu?” Aisyah menjawab, “Bagaimana aku tidak senang?” Rasulullah pun bersabda, “Demi Allah, itulah doa yang kupanjatkan untuk umatku di setiap shalatku.”
Untuk memahami makna senyum dan tawa Rasulullah ﷺ secara utuh, pendekatan linguistik dalam bahasa Arab sangatlah penting. Dalam tradisi Arab, istilah yang digunakan untuk menggambarkan ekspresi wajah seperti senyum (tabassum) dan tawa (dhahik, qahqahah) memiliki nuansa makna yang berbeda dan spesifik. Senyum dan tawa bukan sekadar bentuk ekspresi, tetapi mengandung makna yang kaya secara bahasa dan kultural.
Senyum adalah ekspresi ringan tanpa suara, sedangkan tawa menunjukkan ekspresi kegembiraan yang lebih jelas, dan bahkan dapat disertai suara, tergantung intensitasnya. Oleh karena itu, membedakan antara senyum dan tawa dalam konteks Rasulullah ﷺ memerlukan pemahaman atas istilah-istilah Arab tersebut dan bagaimana bentuknya termanifestasi dalam kehidupan beliau sehari-hari.
Dalam bahasa Arab, terdapat tiga istilah yang memiliki makna berdekatan namun berbeda tingkat ekspresinya: tabassama berarti tersenyum, dhaḥika berarti tertawa, dan qahqaha berarti terbahak-bahak. Ketiganya membentuk spektrum emosi yang dimulai dari ekspresi ringan tanpa suara (senyum), hingga ekspresi kegembiraan yang kuat dan bersuara keras (terbahak).
Dalam konteks ini, senyum dipahami sebagai bentuk paling awal dari tawa, sementara tawa menggambarkan ekspresi wajah yang ceria hingga memperlihatkan gigi depan. Jika disertai suara keras yang terdengar dari jarak jauh, maka disebut terbahak. Suara yang hanya terdengar dari jarak dekat dikategorikan sebagai tertawa biasa.
Oleh sebab itu, gigi depan yang tampak ketika seseorang tersenyum atau tertawa disebut dhawāḥik, sedangkan gigi taring dan geraham disebut nawājidz.
Potret tawa Rasulullah ﷺ tercatat dalam Shahih al-Bukhari, tepatnya dalam Kitab al-Adab, Bab al-Tabassum wa al-Dhahik (Bab tentang Senyum dan Tawa).
Diriwayatkan dari Yahya bin Sulaiman, dari Ibnu Wahb, dari Amr, dari Abu an-Nadhar, dari Sulaiman bin Yasar, dari Aisyah ra., ia berkata:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ tertawa lebar sampai keliahata uvulanya. Tetapi beliau hanya tersenyum.”
Riwayat ini menggambarkan bahwa ekspresi kegembiraan Rasulullah ﷺ cenderung lembut dan penuh ketenangan. Beliau tidak tertawa dengan suara keras atau berlebihan, melainkan cukup dengan senyuman yang menyejukkan, mencerminkan akhlak beliau yang penuh adab, kesantunan, dan kedalaman spiritual.
Interaksi semacam ini mencerminkan kepribadian Rasulullah saw. yang penuh kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Namun, saat ini, akhlak mulia seperti itu kian jarang terlihat dalam kehidupan sosial kita.
Meski demikian, canda dan tawa memiliki batas etis dan kontekstual. Jika dilakukan secara berlebihan atau tidak pada tempatnya, ia bisa melukai hati orang lain, memicu konflik, atau menumpulkan sensitivitas batin. Karena itu, canda perlu ditempatkan secara proporsional.
Sebagaimana nasihat dari seorang tokoh saleh, “Bercandalah dengan sederhana. Terlalu banyak bercanda dapat mengurangi wibawa dan mendorong orang-orang bodoh untuk berlaku tidak hormat. Namun, tidak pernah bercanda sama sekali juga bisa membuat orang lain merasa kaku di dekatmu.”
Dalam pengantar bukunya, penulis menyampaikan bahwa ia secara khusus menelusuri hadis-hadis sahih dan hasan yang menggambarkan momen-momen Rasulullah saw. tertawa—bukan sekadar sebagai informasi historis, tetapi sebagai sarana pembelajaran dan keberkahan. Ia mengumpulkan beragam tema dan situasi yang memicu tawa Rasulullah saw., sehingga pembaca dari zaman dan tempat mana pun dapat turut tersenyum bersama beliau melalui jejak-jejak kenabian yang hangat dan menyentuh itu.
Judul: Ketika Rasul Tertawa: Kegembiraan Bersama Nabi saw. dan Untaian Keberkahan bagi Kita Saat Ini
Penulis : Abdullah Faraj al-Shabban
Penerbit : Qaf
Cetakan : Agustus 2023
Tebal : 376 halaman; Bookpaper
Dimensi : 13 × 20,5cm
Sampul : SoftCover
ISBN : 978-623-6219-61-4
*Amrullah, Gapura Sumenep.