Batuputih, NU Online Sumenep
Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya kembali menggelar pertemuan rutin bersama anggota dan simpatisan di Pantai Badur, Kecamatan Batuputih, Jum’at, (23/08/2024).
Pertemuan yang dihadiri langsung Pembina Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya, KH Muhammad Shalahuddin A Warits itu dikemas dengan bincang-bincang santai bertajuk ‘Membangun Ekonomi Sumenep Berbasis Potensi Lokal’.
Lembaga filantropi yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan ini menyajikan satu topik penting dalam rangka mengembangkan ekonomi melalui sektor pariwisata kreatif. Hal ini dinilai penting agar kekayaan sumber daya alam yang dikelola dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.
KH Muhammad Shalahuddin A Warits atau yang akrab disapa Ra Mamak menyebut, Pantai Badur merupakan salah satu destinasi wisata di Kabupaten Sumenep yang menarik. Memiliki garis pantai terpanjang hingga puluhan kilometer. Terbentang dari Pantai Slopeng hingga Lombang.
“Pantai Badur ini romantis, klasik. Memiliki khas bertemunya air tawar dengan air laut. Ini mengisyaratkan sebuah potensi yang baik. Seperti halnya Pantai Lombang yang memiliki hutan Cemara Udang terbesar di dunia. Dulunya begitu. Meski situs organiknya ini perlahan mulai berkurang,” ungkapnya.
Ra Mamak pun menegaskan bahwa ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan sektor pariwisata di Kabupaten Sumenep. Prinsip ini dinilai penting agar pengelolaannya tidak sampai merusak alam bahkan merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Pertama, dalam mengembangkan sektor pariwisata, hendaknya berorientasi kepada pariwisata kreatif. Pariwisata kreatif yang dimaksud adalah sebuah konsep destinasi wisata yang bisa membuat pengunjung menyisakan pengalaman menarik. Tidak hanya sebatas disuguhi pemandangan yang indah.
“Misalnya, terlebih dahulu membangun masyarakatnya. Sehingga para pelancong memiliki pengalaman yang berkesan selama berinteraksi dengan masyarakat sekitar,” tambahnya.
Pariwisata kreatif ini penting agar destinasi wisata yang dibangun tidak kalah dengan destinasi wisata lainnya. Sebab, menurut Ra Mamak, jika hanya mengandalkan keindahan alam, tentu akan kalah dengan daerah lain yang potensi alamnya jauh lebih baik.
Ia pun mencontohkan di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Para tamu yang berkunjung ke pesantren asuhannya ini banyak mendapatkan pengalaman yang sulit dilupakan. Sebab realitas yang disaksikan selama berada di pesantren telah terinternalisasi ke dalam jiwa dan ingatannya.
“Kemarin itu sempat ada tamu, dosen saya. Para santri berdiri semua saat lewat, lalu berdatangan mencium tangannya. Sampai-sampai membuatnya tidak bisa tidur. Ada pengalaman menarik yang dirasakan,” terangnya.
Realitas ini, menurut Ra Mamak, bisa diterapkan dalam mengembangkan pariwisata kreatif. Sehingga tidak hanya menyuguhkan pesona keindahan alamnya, lebih dari itu bisa memberikan pengalaman terbaik bagi para pengunjung.
“Maka dibentuk dulu komunitas-komunitas masyarakatnya. Agar sektor pariwisata kreatif yang dibuat bisa memberikan pengalaman luar biasa bagi para pengunjung,” terangnya.
Prinsip kedua, lanjut Ra Mamak, dalam membangun atau mengembangkan pariwisata, hendaknya jangan mengeksploitasi sumber dayanya secara langsung. Sehingga tidak merusak ekosistem alam dan tatanan kehidupan masyarakat yang ada.
“Misalkan wisata pantai, jangan langsung pantainya yang dieksploitasi. Agama, jangan langsung agamanya yang dijual. Tetapi harus diberi bingkai-bingkai. Bangun dan kembangkan di sekitar kawasan pantainya. Sehingga tidak langsung merusak sumber wisatanya, yakni pantai,” pintanya.
Ra Mamak mengibaratkan para pelancong atau wisatawan sebagai tamu. Menurutnya, sebagaimana tamu, tempatnya di teras, bukan di dalam atau pusat rumah.
“Karena kalau sumbernya sampai habis, ya sudah tidak punya apa-apa lagi. Kurangi pembangunan alamnya. Tingkatkan pembangunan manusianya,” tegasnya.
Prinsip ketiga, dalam mengembangkan pariwisata, menurut Ra Mamak, tidak perlu memberi label halal atau agama. Sebab, yang terpenting adalah membuat kesepakatan-kesepakatan yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. Kesepakatan itu kemudian dijadikan pijakan dalam pengelolaan destinasi wisata tersebut.
“Sebagaimana Nabi dulu. Tidak peduli agamanya apa, mau Yahudi, Nasrani, Islam. Selama bisa mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dengan masyarakat Madinah kala itu, ya sudah ikut. Sehingga menjadi masyarakat Madani,” ulasnya.
Destinasi wisata yang dikelola pun juga mesti demikian. Ada sebuah nilai yang diberlakukan, hasil dari kesepakatan yang dibuat bersama masyarakat setempat. “Mereka yang berkunjung harus mengikuti kesepakatan itu. Kalau tidak mau, ya tidak usah masuk,” tandasnya.
Sebagai informasi, pertemuan rutin Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya dihadiri puluhan anggota dan simpatisan. Turut hadir pula Kepala Desa Badur, tokoh masyarakat setempat, aktivis dan santri. Selain bincang-bincang santai, acara juga dikemas dengan menikmati ikan bakar bersama selepas acara.