Bayang-Bayang Ular dan Tikus

0
159

Cerpen: Fhieq Achmad*

Tiba-tiba dari perut istrimu muncul sosok bayi yang aneh. Selain berlumuran darah, kaki dan tangannya puntung serta lidahnya selalu menjilat-jilat seperti ular. Di sekitarnya ada seekor ular dan tikus-tikus berdarah yang menatapmu dengan tajam.
***
Kau duduk mencangkung dengan tangan melingkar pada kedua lutut di teras rumahmu. Kopi yang disuguhkan istrimu sejak tadi kaubiarkan dingin dijamah angin; tak tersentuh sedikit pun. Bibirmu terkatup kecuali saat dijejali sebatang rokok. Kegelisahan demi kegelisahan seumpama laba-laba beracun yang terus memanjati hidupmu. Bayang-bayang mengerikan tentang anak yang dikandung istrimu membuat pikiranmu berkecamuk seolah tak sanggup melanjutkan hidup. Takut jika anakmu akan terlahir dengan tangan dan kaki yang puntung dengan lidah yang selalu menjilat-jilat seperti ular. Besok. Ya, menurut dukun spesialis kandungan yang menangani istrimu kemungkinan istrimu akan melahirkan besok.

“Mas, kamu tidak boleh membunuh atau menyiksa binatang, nanti anak kita akan cacat,” ucap istrimu suatu waktu. Saat usia kandungannya masih satu bulan.

“Hahaha! Itu cuma mitos, Dik!” Kau tertawa terbahak-bahak.

Akhirnya, tiga bulan lalu kau melakukan sesuatu yang menurut kepercayaan orang-orang di kampungmu akan membuat anakmu terlahir dengan cacat, seperti ular yang lidahnya selalu menjilat-jilat. Saat itu kau sedang mencangkul di sawah, membuat kotak-kotak kecil yang kemudian akan ditanami bibit-bibit semangka. Tiba-tiba di depanmu ada seekor ular yang cukup besar siap menerkammu. Terkejut bercampur takut kau melihat ular itu. Dengan cepat kaupukul ular itu menggunakan cangkulmu. Setelah ular itu tak berkutik, kaubuang ke dalam sumur tua tak terpakai di tepi sawah.

“Ah, mitos!” desahmu saat membuang ular itu sambil tersenyum miring.

Musim hujan sudah bertandang, tepatnya saat usia kandungan istrimu genap tujuh bulan, bertani semangka tak lagi bisa kaujadikan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupmu dan juga istrimu, apalagi dia sedang mengandung anak pertamamu.

Di musim hujan, bibit-bibit semangka yang kautanam akan mati digenangi air. Sebabnya kau memilih menanam jagung di ladang tak jauh dari rumahmu. Hanya itu yang menjadi sumber penghasilanmu saat musim hujan.

Setelah kau panen jagung-jagung itu, kaujual sebagian dan sisanya kausimpan di lumbung sebagai persediaan. Kau sangat kesal saat tiba-tiba jagung yang kausimpan itu hampir habis diserbu segerombolan tikus. Kau sangat marah. Kaubantai tikus-tikus itu lantas membakarnya. Kau sempat teringat apa yang dikatakan istrimu dulu, bahwa jika seorang suami membunuh tikus ketika istrinya sedang mengandung, maka kaki dan tangan anaknya akan buntung.

“Ah, cuma mitos!” ucapmu saat membakar tikus-tikus itu.

Satu minggu yang lalu, tepatnya saat usia kandungan istrimu genap sembilan bulan, Juminten, anak Pak Lurah, melahirkan anak dengan keadaan yang tak biasa; tangan dan kakinya buntung. Menurut desas-desus warga, penyebabnya karena suaminya membunuh tikus saat Juminten mengandung bayi itu, saat usia kandungan Juminten berumur tujuh bulan.

“Itu karena suaminya membunuh tikus!”

“Kasihan, ya?”

“Padahal, Juminten cantik!”

“Padahal, Juminten bukan keturunan orang cacat!”

“Toha memang tidak tahu diri! Sudah tahu istrinya mengandung, masih saja membunuh tikus!”

Kabar itu terus mengalir dari mulut ke mulut warga. Juminten, ayah, ibu dan juga suaminya sudah satu minggu tidak keluar rumah karena tidak kuat menanggung malu. Bahkan, sempat terdengar kabar bahwa Juminten akan menggugat cerai suaminya yang dianggap sebagai penyebab anaknya terlahir dalam keadaan cacat. Dan sejak saat itulah kecemasan mulai menyembul di dadamu.

Siti, istrimu, merasa risau dan menaruh curiga padamu; takut dirimu telah melalukan sesuatu yang akan membuat anak yang dikandungnya terlahir cacat.

“Kamu tidak pernah membunuh atau menyiksa binatang kan, Mas?” tanya istrimu, risau.

“Enggak, Dik, tenang saja.”

Tersenyum istrimu mendengar pengakuanmu.

“Alhamdulillah, aku sudah tidak sabar menanti kehadiran bayi ini, Mas!” lembut istrimu berujar sambil mengelus pelan perutnya yang membuncit.

Melihat istrimu, kau tersenyum. Namun, kecemasan di dadamu terasa kian menjamur. Kau sudah teramat yakin terhadap mitos itu saat itu. Kau tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi istrimu saat melihat anak yang dinanti-nantikan itu terlahir dalam keadaan cacat sebab ulahmu. Akankah ia menggugat cerai dirimu? Atau ia akan bunuh diri? Atau mungkin akan membunuh bayinya karena tidak kuat menanggung malu? Pertanyaan-pertanyaan itu seumpama bara rokok yang menyundut-nyundut hatimu.

Kau mendekat pada istrimu, memeluk dan mencium keningnya. Kau memilih tidak memberitahu istrimu bahwa kau telah melakukan sesuatu yang tidak diinginkan istrimu itu. Bingung kau harus bagaimana.

“Kalau perempuan, semoga anak kita cantik dan salihah. Kalau laki-laki, semoga tampan dan saleh, juga berbakti pada kita,” tambah istrimu saat masih dalam pelukanmu.

Kau masih dalam posisi duduk yang sama. Kauusap dadamu lantas menyeruput kopi itu untuk pertama kalinya. Pahit. Bagimu terasa pahit meskipun kopi itu manis. Kau lepas gulungan sarungmu kemudian kauselimuti tubuhmu dengan sarung itu untuk menghilangkan sedikit kedinginan sembari menoleh pada kamar istrimu yang pintunya tidak ditutup. Sejenak kau mematung. Nanar menatap istrimu yang tertidur pulas dengan perut membuncit. Tergambar jelas, betapa sesungguhnya kegelisahan tak pernah hengkang dari wajahmu. Keruh.

Tiba-tiba dari perut istrimu muncul sosok bayi yang aneh. Selain berlumuran darah, kaki dan tangannya puntung serta lidahnya selalu menjilat-jilat seperti ular. Di sekitarnya ada seekor ular dan tikus-tikus berdarah yang menatapmu dengan tajam. Sukar dipercaya olehmu, kau terperanjat, matamu terbelalak, deras jantungmu berdetak. Cangkir kopi beserta tatakannya itu terpental jauh lantas pecah tertendang kakimu. Kaukucek matamu berulang-ulang, ingin memastikan bahwa apa yang kaulihat benar-benar nyata. Saat masih remang-remang matamu memandang, tiba-tiba sosok itu menghilang entah ke mana. Kau mengembuskan napas lega. Sosok dan hewan-hewan itu hanyalah bayang. Kauusap dadamu berulang kali dengan napas tersengal-sengal, mencoba untuk tenang.

Lalu kautatap jarum jam. Pukul dua belas malam. Detak jantungmu saling bersahutan dengan detak jarum jam itu. Kurang lebih enam jam lagi, sinar matahari akan menyemburat menyinari bumi. Itu artinya, kelahiran istrimu semakin mendekat. Kau tak ingin itu terjadi. Seandainya bisa, kau akan kembali ke masa-masa saat istrimu baru awal-awal mengandung untuk tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuat anakmu terlahir dengan cacat. Kau menyesal. Namun, tidak mungkin. Waktu terus memadupandankan matahari dan rembulan tanpa henti. Bergelinding seolah mencari angka yang dituju namun tak pernah ketemu. Waktu terus berjalan dan tak bisa kauulang.

Kau sudah teramat yakin bahwa anakmu akan terlahir dengan keadaan cacat, besok. Dan kau tak ingin hari besok itu datang. Sebab pikirmu, kau tidak akan kuat menanggung malu karena mempunyai seorang bayi yang cacat. Kau termenung sejenak, memikirkan apa yang akan kaulakukan. Saat-saat seperti itulah setan mulai berdatangan. Berbagai macan pikiran aneh mulai menjamahmu.

“Bunuh diri!”
“Aborsi!”
“Bunuh saja istrimu!”
“Atau kabur saja!”
“Mas…!”
“Sakit, Mas!”

Seketika lamunanmu buyar. Jerit kesakitan istrimu membuat kecemasan di dadamu kian membelukar. Bibirmu mendadak seperti kain kafan dan bergetar. Bingung kau harus bagaimana. Kau tak mau bila menelepon dukun, sebab sama saja kau seperti bertelanjang di keramaian. Jika bayi itu lahir, kau yakin, bayi itu akan terlahir dengan tangan yang buntung juga lidah yang selalu menjilat-jilat seperti ular. Keluargamu, lebih-lebih dirimu, akan menjadi bahan perbincangan dari mulut ke mulut warga. Kau tidak akan kuat menanggung malu. Namun, kau juga tidak tega melihat istrimu yang terus-terusan merintih kesakitan. Kau cemas, bingung akan berbuat apa.

Akhirnya, dengan kaki yang berat diayunkan, kau melangkah menuju kamar istrimu. Pelan. Sepelan langkah kaki maling yang memasuki rumah seseorang diam-diam. Terbelalak matamu setelah melihat daster yang dikenakan istrimu berlumur darah.

“Mas…! Tolong jemput Nyi Ambiya di rumahnya, Mas! Aku tidak kuat, sakit, Mas!”

Jeritan istrimu membuatmu semakin panik. Sepanik ibu-ibu yang sebentar lagi akan ditabrak mobil di tengah jalan. Kau tak menyahut, hanya menganga, bingung kau harus bagaimana. Dalam kesempatan seperti itu, segerombolan setan lagi-lagi mengambil kesempatan.

“Kabur saja!”
“Bunuh saja istrimu!”
“Bunuh diri!”
“Ambil pisau!”
“Tusuk perut istrimu!”
“Anakmu akan terlahir cacat!”
“Apa kau siap menanggung malu?!”
“Malu! Dasar tak tahu malu!”
“Anakmu akan membawa sial!”
“Anakmu akan seperti ular!”
“Anakmu akan seperti tikus!”
“Tidak punya kaki!”
“Tidak punya tangan!”
“Lidahnya menjijikkan!”
“Bunuh dia!”
“Bunuh dia!”
“Tusuk dia!”
Bruk…
Kau ambruk.
***

Wajahmu berbinar selaksa mawar. Bahagia menatap anakmu yang terlahir dengan kondisi tubuh yang sempurna, tidak cacat sedikit pun. Cantik. Anakmu cantik, secantik ibunya yang berbaring di sampingmu itu.

Annuqayah, 2021

*) Fhieq Achmad, saat ini tengah mengabdi di Sosial Media Lubangsa.

Editor: A. Warits Rovi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini