Guluk-Guluk, NU Online Sumenep
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sumenep KH Abdul Wasid menjelaskan, santri merupakan generasi penerus dan sosok yang harus memiliki muru’ah (menjaga akhlak), uswah, dan qudwah hasanah (contoh dan teladan yang baik).
Penjelasan ini disampaikanya saat acara Seminar Hari Santri 2024 dan Penutupan Lomba Literasi se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Pengurus OSIS Madrasah Aliyah (MA) 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Selasa (05/11/2024) di Auditorium Asy-Syarqawi.
Menurutnya, sifat santri dibangun dan dikembangkan di pesantren sebagai sentral institusi pendidikan yang komprehensif, ideal, dan kaffah (menyeluruh) dalam mencetak generasi tafaqquh fiddin (paham agama),
Lebih lanjut Mantan Sekretaris Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sumenep ini mengupas filosofi dan peran santri berdasarkan huruf yang membentuk kata Santri dalam Bahasa Arab yakni Sin, Nun, Ta’, dan Ra’.
Pertama, huruf Sin yang menjadi awal kalimat Saya’rifu bainal halal wal haram (سيعرف بين الحلال والحرام). Ini bermakna santri selalu mengetahui antara yang halal (baik) dan yang haram (buruk). “Kedua, Nun yaitu Naibul ‘Ulama (نائب العلماء). Santri merupakan sosok generasi penerus para kiai dan ulama,” terang Kiai Wasid.
“Santri adalah penerus ulama di mana Al-Qur’an menjelaskan kriteria ulama selain punya kompetensi keilmuan terutama Islamic Sciences (Dirasat al-Islamiyyah) juga yang lebih utama harus khasyyatullah (takut kepada Allah) minal ma’ashi wal kabair wal jair (dari maksiat dan dosa besar),” sambungnya.
Ketiga, Ta’ yakni Tarkul Ma’ashi (ترك المعاصى). Ini bermakna bahwa santri harus mampu meninggalkan maksiat dan hal-hal negatif lainnya seperti konflik, anarkisme, saling hujat, provokasi, intimidasi, fitnah, hoaks, dan kejahatan sejenisnya.
Keempat, huruf Ra’ yakni Rakibul Awam (راكب العوام) (kendaraan bagi orang awam). Hal ini bermaksud bahwa santri harus mampu menjadi pusat untuk bertanya bagi masyarakat. Santri adalah figur sentral yang bisa memberi nasihat, taushiyah, mau’idzah hasanah, dan rujukan diskusi.
“Santri berperan menjadi sentra perubahan sosial keagamaan bagi umat. Kiprah utama yang mampu berinteraksi dengan umara dalam merespon dan memberi solusi atas cita dan asa serta problematika bangsa dan negara,” pungkas Kiai Wasid.
Sementara itu, K. M. Faizi yang didaulat sebagai Penyaji 2 menerangkan bahwa salah satu keistimewaan yang dimilki oleh santri yaitu sanad keilmuan. Sanad keilmuan di pesantren tidak hanya sebatas penting, tetapi menjadi sebuah ilmu tersendiri yang nantinya menjadi standar transmisi keilmuan yang muttashil (nyambung) sampai ke Baginda Nabi Muhammad SAW.
“Oleh sebab itu, ilmu agama Islam tidak hanya punya tanggung jawab moral di dunia. Untuk itu, para santri juga diajarkan untuk memilih guru (irsyadi ustadzi) yang punya sanad keilmuan jelas dan bersumber dari sumber-sumber yang jelas pula periwayatannya,” terangnya.
Menurutnya, kemurnian ajaran agama Islam dapat terjaga melalui sanad keilmuan dari seorang guru ke guru, dan munculnya paham-paham menyimpang yang dapat menyesatkan umat Islam sangat kecil kemungkinannya untuk tidak terdeteksi.
“Sanad atau Isnad inilah yang tidak dimiliki selain di pondok pesantren Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyyah,” terang Sastrawan Nasional itu.
Di kesempatan yang sama, KH. A. Farid Hasan selaku Kepala MA 1 Annuqayah mengutarakan dalam sambutannya bahwa Hari Santri yang selalu diperingati setiap tanggal 22 Oktober merupakan momentum sekaligus refleksi untuk mengingat dan meneladani peran santri yang telah memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai negeri.
“Sejarah telah mencatat bahwa kaum santri adalah salah satu komunitas dan kelompok militan yang paling aktif menggelorakan perlawanan terhadap penjajah. Salah satu bukti perlawanan santri terhadap para penjajah adalah peristiwa ‘Resolusi Jihad’ pada tanggal 22 Oktober tahun 1945 yang dimaklumatkan oleh Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asyari,” ungkapnya.
Dalam fatwa Resolusi Jihad Mbah Hasyim menyatakan bahwa berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh.
Menurut Kiai Farid, masa depan Indonesia juga ada di pundak para santri. Oleh karenanya, ia berharap Hari Santri 2024 ini juga menjadi momentum untuk memperkuat komitmen, khususnya para santri dalam merengkuh masa depan dan mewujudkan cita-cita bangsa.
“Santri harus percaya diri karena santri bisa menjadi apa saja. Santri bisa menjadi presiden, dan kita punya presiden yang berlatar belakang santri, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Santri juga bisa menjadi wakil presiden, dan kita punya wakil presiden berlatar belakang santri, yaitu KH. Ma’ruf Amin,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Al-Hasan Guluk-Guluk ini.
Menukil sabda Rasulullah SAW, Kiai Farid menerangkan bahwa perang fisik dari pertempuran yang dahsyat pun sejatinya adalah pertempuran kecil.
“Jihad itu tatarannya sangat luas. Pengertian sebagaimana disebutkan hadits Raja’na min jihadil asghar ila jihadil akbar, (kita telah kembali dari jihad/perang kecil menuju kepada jihad/perang yang begitu besar) yakni melawan hawa nafsu. Mengapa melawan hawa nafsu begitu penting? Karena perang di medan pertempuran tidak disyariatkan untuk menang. Jika pun mati maka akan syahid dan masuk surga tanpa dihisab, sementara jika kita dikalahkan oleh hawa nafsu maka nerakalah balasannya,” tuturnya.
Menurutnya, peringatan Hari Santri juga menjadi refleksi atas peran santri di era modern. Dari yang sebelumnya dikenal sebagai pelajar agama di pesantren, kini para santri berkembang menjadi aktor-aktor yang berperan dalam berbagai sektor kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, hingga teknologi.
“Dengan semangat kebangsaan yang kuat, santri terus berkontribusi dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengembangkan nilai-nilai keislaman yang moderat dan inklusif,” pungkas Kiai Farid.
Editor: Firdausi