Perkembangan Islam di Nusantara tidak lepas dari gerakan wali sembilan atau walisongo yang berperan sebagai penyebar Islam di tanah Jawa. Selain ahli di bidang dakwah, mereka sudah sampai pada maqam tertinggi. Di dalam tasawuf disebut wali atau kaum sufi.
Lewat akulturasi kebudayaan, dakwah walisongo diterima oleh masyarakat, sehingga dengan mudah menanamkan motivasi moral yang pada akhirnya secara lambat laun muncul perwujudan amal shaleh.
Konsep moderat yang dijadikan prinsip dasar oleh Nahdlatul Ulama (NU) sudah lama dipakai oleh para wali. Salah satunya adalah Raden Umar Said atau Sunan Muria yang menggunakan pendekatan kultural. Artinya, ia tidak melarang tradisi masyarakat kuno dan mengkombinasikannya, sehingga muncul sinkretisme budaya.
Sebagaimana dikatakan Sastrowardjojo, gaya moderatnya Sunan Muria menyelusup di berbagai tradisi kebudayaan Jawa, seperti adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, nelung dino atau peringatan tiga hari setelah kematian, hingga nyewu atau peringatan seribu hari setelah kematian.
Kanjeng Sunan tidak lantas mengharamkannya, tetapi tetap berada di batasannya. Oleh karenanya, tradisi yang dianggap syirik, seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji, diganti dengan lantunan doa, shalawat, dan kalimat tayyibah lainnya.
Selain itu, dakwahnya lewat jalur kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat dan lagu Jawa. Menurut Saatrowardjojo, lagu Sinom dan Kinanthi dipercayai karyanya yang sampai saat ini masih ada. Lewat tembang itulah, ia bisa mengajak masyarakat mengenal Islam dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ciri khas Sunan Muria adalah ia lebih senang berdakwah pada rakyat kecil daripada bangsawan. Karena cara dakwah inilah menyebabkan konsep dakwahnya dikenal Topo Ngeli, yakni menghanyutkan diri dalam arus masyarakat, tetapi tidak tertelan arus.