Sisa Bebintang yang Kau Galah Dahulu
menatap langit, kupandangi sisa-sisa keringat
yang meruapkan sebuah perjalanan paling tua
dalam perjalanan itu kau galah bebintang
lalu kau jadikan lentera
kau jadikan cangkul
kau jadikan wajan
kau jadikan sampan
maka anak-anakmu pun lahir sebagai petani dan nelayan
sebermula itu, cahaya yang kau galah dahulu
terus berlayar sepanjang darahmu terus mengakar,
menumbuhkan bintang baru
menatap sisa-sisa keringatmu
yang meruapkan sebuah perjalanan panjang
di sebuah nisan, kulihat kau tersenyum
senyum yang teramat terang
seterang bebintang yang kau galah dahulu
Sumenep, 2021
Mencipta ilusi
Bayanganmu datang setelah senja tadi pergi
Duduk di dadaku yang masih menyimpan jeri
Lewat senyummu kau hantarkan reminisensi
“Sekedar menjaga agar tawa kita abadi,” bisikmu
Di mataku sebuah telaga masih baru dikeruk
Perahu-perahu berlayar
Bayanganmu semakin tenggelam
Hidup adalah bagaimana cara menerima
Setiap kejutan waktu yang datang tanpa aba-aba
Gemetaran mendekap kita
Sumenep, 2020
Membuka Pintu
Hujan kata-kata membasuhiku
Mengakhiri kemarau yang menahun di kalbu
Makna pun datang padaku sebagai bianglala
Seumpama mentari yang datang selepas bulan tiada
Sumenep, 27 September 2021
Membaca Masa Lalu
Terpaku pada sebuah sketsa, kubuka almanak tua
Di sana kutemukan riwayat jelaga
Sebuah silsilah cerita yang mengarsir mendung di mata
Membuihkan aroma Ladha
semakin menjelaskan peta derita yang akan tiba
Adalah hari-hari yang kelam
ketika aku terperangkap dalam warna hitam
Setiap hari habis untuk memuntahkan lava
Petaka kutebar dimana-mana
Kini, ketika senja datang menyapa
Tawaku memburai kelu lisan mengaji pusara
Hujan mendera, menusuk-nusuk jiwa
Aku tak tahu, bisakah jejak noda ini lenyap tanpa sisa
Sumenep, 2021
Kelana Mencari Pelita
Sejenak aku tersesat dalam labirin kata-kata
Dunia pecah meninggalkan jejak-jejak perseteruan;
ada jejak kelana berputing
Jiwaku sudah lama mengembara berburu pelita yang begitu licin
Usai kutangkap, segera ia membuka celah
Melarikan diri di antara temaram bayangan
Maka aku kembali mengembara;
terperangkap anatomi hari
Aku segera menjadi prasasti
Tempat waktu menertawai ketololan diri
Tersesat adalah siklus menyelami diri
Dalam sesat; mataku buta
Itulah masa ketika telinga dan hidung menjadi hidup
Reruntuhan kenangan akan datang serupa kompas
Menunjukiku pada jalan-jalan lembap
tersesat adalah jalanan lengang di sudut kota
Para pembunuh; pencuri mimpi diam-diam mengintai
Di dinding penuh grafiti seribu luka bergentayangan
Dalam sunyi jalan ini aku mabuk
Mimpi-mimpi begitu erat kupegangi
Beberapa memburai terbengakalai
Beberapa lagi kusimpan sebagai serepih mentari
Sumenep, 2021
Fathurrozi Nuril Furqon, lahir di Sumenep pada tanggal 01 Agustus 2002. Saat ini sedan melanjutkan pendidikannya di IDIA, sembari mengabdikan diri di TMI Al-Amien Prenduan. Bisa dihubungi melalui WA; 081331106537, ig; @zeal0108, email; ozijenius02@gmail.com