Mata Mama

1
103

Cerpen: Risqi Nur Laili

Perjalananku dimulai dari waktu. Tentang kerinduan yang tertanam jauh sampai akhir hayat, payah kehidupannku dipenuhi keterlambatan, sampai akhirnya, penyesalanku menjadi bayaran dari keterbatasan lalaiku. Tuhan, aku sungguh menyesal. Andaikan waktu bisa kuputar, akan kubayar segalanya, akan aku peluk erat dia, aku hapus peluh dan air matanya. Wahai dosaku yang tiada tara, engkau adalah bayangan jahannam dari kesalahanku yang aku tumpuk selama ini, menjajah senyumnya menjadi perjalanan sendu penuh keluh.

# # #

“Mira anakku. Ini uang untuk kaubayar sekolahmu di sana juga ada sedikit tambahan uang untuk kau berjajan. Mama harap uangnya cukup. Jangan lupa belajar yang giat, biar masa depan kau cerah”

; dari mamamu
Aku lipat kertas biru bergaris dengan perasaan bersalah. Pikiranku semakin berkecamuk memikirkan segala hal yang belum aku tuntaskan, penatku bercampur dengan rasa yang tidak aku pahami artinya. Surat ini dari mamaku di kampung halaman. Kuliahku jauh, di Jakarta tepatnya. Dahulu, karena bapakku masih ada, jadilah aku di sini, di kota impianku. Namun, kini bapakku telah tiada. Aku hendak berhenti dari kuliah, tapi mamaku enggan menerimanya. Ia bilang masih sanggup. Mamaku wanita yang tegar. Dahulu saat bapakku mengalami sakit keras, mamalah yang bekerja banting tulang di keluarga kami, menggarap semua pekerjaan dari orang-orang yang membutuhkan jasa mama, mulai dari memcuci, bekerja di ladang, bahkan kerja bangunan. Aku bukan anak kalangan berada. Beginilah, uang secukupnya dari mama, juga uang tambahan dari hasil kerja paruh waktu. Ya, selain menjadi mahasiswa, aku juga bekerja untuk meringankan beban mama. Kerja yang membuatku betah menjadi mahasiswa abadi. Aku tidak berhasil menyelesaikan kuliahku tepat waktu, karena sibuk bekerja sana sini. Tanpa sadar aku membebani mama, mengecewakan mama selama ini, kesalahan yang terlambat aku sadari.

# # #

“Mira anakku. Maafkan mama, sebab tidak ada uang untuk kali ini. Sebenarnya mama berat hati untuk mengirim surat ini. Mama harap kau bisa mengerti. Mira, sudah hampir delapan tahun kau tidak pulang, Nak! Kapan kiranya? Mama benar-benar rindu. Mama kira bisa menunggumu sampai hari ini, tapi sayangnya mama tidak sabaran. Simpan barang ini baik-baik. Hanya ini yang dapat mama berikan. Jika kau merindukan mama, lihatlah lamat-lamat gambarnya, maka rindumu akan terbayar.”

: mama menyayangi kau
Ya, sudah hampir delapan tahun aku tidak pulang. Bukan karena aku tidak rindu. Aku malu sebab gelar sarjana tidak kunjung aku dapatkan. Sungguh berdosa aku ini! Tapi apalah dayaku? Tinggal sedikit lagi, aku sudah berjanji untuk menyelesaikan kuliahku dengan cepat. Mamaku yang malang, bukan salah mama yang tidak sabar, tapi aku yang tidak punya hati sampai tega tidak pulang-pulang walau sekadar untuk mengunjungi mama. Perih rasanya setelah membaca surat dari mamaku. Sampai aku lupa membuka bingkisan hitam pemberian mama. Dengan perasaan gundah, dengan tangan bergetar, aku tulis sesuatu di atas kertas putih untuk membalas surat dari mamaku itu.

“Maaf, Ma! Bukan keinginanku tidak pulang, bukan juga salah mama tidak sabar menungguku pulang. Aku yang salah ,Ma! Karena selalau menyusahkan mama selama ini. Jika bisa, dua bulan lagi Mira akan pulang, Ma! Dan Mira harap surat ini mama balas sebelum dua bulan itu.”

: Salam kasih, Miranda anak mama
Setelah surat kutulis rapi, ku impan segala alat-alat yang berserakan di meja belajarku, termasuk bingkisan dari mamaku, aku memilih membukanya kapan-kapan, mungkin setelah mendapat balasan surat dari mamaku.

# # #

Hari-hariku berjalan seperti biasa, sibuk seperti semula. Bekerja di paruh waktu, mengerjakan kuliah akhir, dan terus begitu. Sampai akhirnya tidak aku sadari, sudah satu bulan lebih aku menunggu balasan surat dari mamaku. Biasanya, setiap bulan mama mengirimkannya padaku. Apakah mama marah, sebab aku tidak pulang? Atau mama sedang sibuk? Pertanyaan itu menghantuiku. Sadar bahwa memang pantas mama marah padaku, sebab pada nyatanya aku bisa saja diaanggap durhaka, pasalnya aku banyak menyusahkan mama, tidak mendengarkan nasihat mama untuk segera menyelesaikan kuliahku dan segera pulang. Hari ini harapanku hanya satu, semoga saja mama tidak marah.

Sore akhirnya datang, namun perasaan kalut tentang mama masih kurasakan. Aku keluar hendak mencari angin segar, ternyata yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pak Pos datang membawa balasan surat dari mamaku. Legang perasanku yang berkabut. Harapan yang aku beratkan akhirnya terjawab. Aku segera berlari mengambil suratnya. Lalu membukanya dengan perasaan senang, berpikir bahwa ternyata benar mamaku itu sabar, ia tidak akan marah, buktinya suratnya datang untukku.

“ Miranda, maaf surat ini terlambat datang. Harusnya sebulan lalu, saat kau berkirim surat untuk mamamu yang terakhir kalinya. Bersabarlah, Mir! Mamamu sudah tenang di sana. Ia juga yang menyuruh kami untuk tidak mengabarimu soal ini. Tapi aku yang tidak tega padamu, Mir. Jika di tempatmu bisa menenangkan dirimu, sebaiknya tidak usah pulang, Mir. Mungkin kau butuh waktu. Tapi jika kau tidak kuat, maka pulnglah, Mir. Aku selalu ada untukmu.”

: dari Badrul teman baikmu
Badanku lemas, getaran di tubuhku semakin kuat, air mataku tidak bisa kubendung lagi. Surat ini bukan dari mama. Mama sudah tiada, sudah pergi. Kenapa, Tuhan? Kenapa Tuhan tidak memberiku kesempatan membayar rindu, kesalahan, dosa, dan segalanya. Apa ini hukumannya, Tuhan? Tidakkah ada kesempatan untuk yang kedua kalinya untuk aku perbaiki semuanya?

Aku beranjak ke kamar, keputusanku sudah bulat, aku akan pulang ke kampungku, tempat bersejarahku dengan mama, tempat cerita panjangku bersama mama, tempat di mana ia menciumku, memelukku, dan menghabiskan sisa hidupnya untukku. Akan aku tinggalkan urusanku di sini sampai lukaku benar-benar sembuh. Saat kubuka lemari, ada bingkisan hitam pemberian mama yang belum aku sentuh. Perasaan bersalah padanya semakin memuncak “ Masih sempat mama membuat bingkisan ini kepadaku, apakah memang ini pemberian terakhirnya, agar aku tetap mengingatnya sampai kapan pun? ”Aku mengambilnya dan membukanya. Ternyata ada jam beker merah dengan gambar mata yang indah sekali, juga ada surat di dalamnya. Lalu aku membacanya dengan perasaan berkecamuk.

“Kenanglah ini Miranda, mungkin pemberian ini yang dapat mama berikan untuk yang terakhir kalinya. Mama tidak banyak menabung untuk memberikan ini, karena barangnya sangat murah, jika seandainya nanti kau merindukan mama, maka perhatikan lamat-lamat gambarnya, maka rindumu akan terobati. Perlu kau ingat, Nak! sampai kapan pun mama akan tetap menyayangimu, jangan pernah bebani pikiranmu dengan memikirkan mamamu ini. Itu justru akan membuatmu menyesal. Lakukan apa yang seharusnya kaulakukan, tetap berada di jalan yang benar Miranda, karena itu sudah cukup membuat mama bahagia.”

; Doa mama ada padamu
Sakit dadaku setelah mambaca surat itu, air mataku mengalir lagi, semakin deras tidak dapat terkendali. “Kenapa mama sampai melakukan ini? Sungguh berdosa aku padanya.” Dalam tangisku, tetap saja dengan ratapan yang tidak kunjung redam. Aku lipat lembar-lembar kertas surat dengan cepat. Degupan jantung yang tidak terhingga kencangnya. Aku buka lagi jam beker pemberian mama, lamat-lamat aku perhatikan gambar mata itu seperti perintah mama di surat terakhirnya. Mata timbul dalam jam beker, mata mama yang terlalu merindukanku, mata sabarnya yang sayu menatapku penuh kelu, mata asli pemberian mamaku. Meski jauh, pantauan mama selalu tertuju padaku, doanya, kasih sayangnya. Mata ini buktinya. Mamaku rela melakukan ini, benar-benar berdosa aku mengabaikan perintah pulangnya. Seandainya aku pulang tidak selama ini, pastilah tidak akan terjadi seperti ini. Aku peluk jam beker itu, aku perhatikan lagi mata mama di dalamnya, terus kuulangi seperti itu, sampai akhirnya aku lelah, jatuh tertidur bersama mata mama dalam jam beker.

# # #

Pagi akhirnya datang. Terangnya semesta, birunya langit tidak membantu kenyataan hidupku yang pahit, tidak dapat merubah keputusan Tuhan dalam sebuah cerita malang seorang perempuan yang tidak bisa menjadi anak yang baik. Kenangan itu racun. Bagi siapa pun yang tidak dapat menggunakan waktu dengan baik. Aku ini contohnya. Mama mungkin saja tidak mengutukku menjadi batu seperti cerita Malin Kundang sang anak durhaka, tapi waktu, kenagan, bahkan semesta tidak akan membiarkan itu. Ada banyak hal yang belum aku bayar pada mamaku. Aku berutang padanya. Aku hanya bisa menjadi beban untuknya, namun untuk membahagiakan dan membuatnya tersenyum aku gagal. Mama yang selalu menyayangiku tidak pernah meminta itu, pasalnya tidak ada seorang ibu yang menuntut banyak pada anaknya, tapi aku seharusnya membalas kebaikannnya tanpa harus disuruh, dan diminta. Mirisnya, perintah pulangnya saja aku abaikan. Permintaan yang paling sederhana saja aku tidak dapat memenuhinya. Pikiranku semakin kacau. Tidak ada yang dapat kupikirkan selain mama, juga bingkisan yang diberikannya padaku.
Jam beker dengan mata mama di dalamnya benar-benar membuatku semakin lunglai. Tidak ada obat yang dapat memulihkan tenagaku, perasaanku, apalagi pikiranku. Bagaimana aku bisa kuat menghadapi semua ini? Masalah yang aku yakini bersumber dariku. Apakah ada orang yang akan memaafkan kesalahan yang aku lakukan kepada orang yang banyak berjasa padaku? Apakah Tuhan dapat memaafkanku? Lalu jika Tuhan memaafkanku, apakah mamaku akan kembali?. Pertanyaan yang tidak henti-henti aku rapalkan dalam hati, membuatku semakin sakit. Akhirnya aku memutuskan menyudahi segala yang ada dalam pikirannku, pertanyaan yang menyiksa itu aku redam dengan merapalkan doa-doa pada mama. Setidaknya ada yang aku berikan pada mama, setelah semuanya gagal. Semoga Tuhan dapat menyayangi mama dengan sepenuh hati, tidak seperti aku yang payah ini. Selesai membaca doa untuk mama, aku mengemasi baju-bajuku yang ada dalam lemari termasuk bingkisan dari mamaku. Aku siap pulang ke kampungku, siap menjalani segala risiko yang akan aku hadapi di sana.

# # #

Perjalan yang jauh dari kota ke kampungku tidak membuatku merasa lelah, justru perjalannan itu yang membuatku akhirnya tahu, bahwa tidak mudah menjalani hidup tanpa ada masalah yang dihadapi, justru masalah inilah yang membuat aku menjadi sedewasa ini, menjadikan aku berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu. Banyaknya lika-liku perjalannan bukan harus aku takuti, juga bukan harus aku sesali. Jalani apa yang telah Tuhan beri. Obat ampuh dari segala masalah adalah berdamai dengan waktu dan menerima apa yang telah terjadi. Penyesalan akan terus ada, sebagai pengingat bahwa yang aku lakukan dulu memang bentuk dari sebuah kesalahan, karena aku hanya manusia biasa, tidak dapat sepenuhnya menjadi dokter terbaik dari segala masalah yang aku hadapi, juga bukan Tuhan yang dapat mengubah segalanya menjadi indah.

Dua hari berlalu, di sini aku berada, di kampungku, tempat sejarah mama melahirkanku dengan perjuangannya. Banyak memori berkesan yang aku dapatkan di sini. Semua orang menyambutku dengan iba, memberiku semangat agar terus bersabar, dan menjalani hidup dengan kuat. Dan aku hanya diam, tidak menceritakan apa pun yang telah terjadi. Biar hanya aku yang tahu, biar hanya aku yang menyimpannya. Sore pun tiba, aku datang lagi ke pusara mama, keputusanku sudah bulat untuk mengembalikan barang mama yang seharusnya tidak ada padaku. Aku gali tanah di samping pusara mama, aku letakkan mata mama bersama jam bekernya, menguburnya bersama perjuangannya, menguburnya bersama dosaku, maafku, dan penyesalanku yang tiada tara. Sejarah harus mencatatnya, bahwa mamaku wanita hebat dan kuat di sepanjang peradaban.
“ Terimakasih, Mama! “. Lalu aku kecup nisan mama dan beranjak pulang. Pulang dengan penyesalan yang entah sampai kapan sembuhnya.
;Dalam rangka merayakan hari kasih sayang ibu
22, Desember 2022

*penulis aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika Universitas Annuqayah Guluk-Guluk.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini