Gapura, NU Online Sumenep
Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, Kiai Abdul Wasid menyampaikan tiga hal yang harus dilakukan agar menjadi warga NU yang Kaffah, atau totalitas.
“Ada tiga hal yang harus dilakukan agar menjadi warga NU yang Kaffah,” ujarnya saat mengisi Tausiyah ke-NU-an dalam acara Silaturrahim bersama Guru Ngaji dan Dhuafa yang diselenggarakan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Gapura, Sabtu (23/4/2022).
Pertama, memegang teguh fikrah an-Nahdliyah. Yakni pola pikir yang berlandaskan kepada nilai-nilai Ahlussunah Wal Jama’ah an-Nahdliyah. Baik dalam ranah sosial, politik, agama dan sebagainya.
“Salah satu contoh misalnya dalam bermadzhab. Kita sebagai orang NU ya harus bermadzhab. Tidak bisa kita jalan sendiri-sendiri. Agama itu harus dengan tuntunan yang jelas,” ujarnya.
Islam merupakan agama yang ajarannya disampaikan melalui wahyu dan riwayat. Sehingga, menurut Kiai Wasid, sapaan akrabnya, bermadzhab merupakan hal mendasar yang harus dipertahankan dalam beragama.
“Ajaran Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Kemudian diajarkan kepada para sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga kepada guru-guru kita semua, yang sanad keilmuan jelas tersambung hingga Rasulullah SAW,” imbuhnya.
Dengan demikian, berguru kepada Kiai dan ulama sangatlah penting. Sebab sanad keilmuannya jelas tersambung hingga Rasulullah SAW.
“Agar keberIslaman kita benar, maka harus belajar kepada guru yang jelas sanad keilmuannya. Dalam hal ini, keberadaan guru ngaji sangat penting,” terangnya.
Kasi Pondok Pesantren Kemenag Sumenep itu kemudian menyebutkan beberapa akibat jika dalam beragama Islam tidak menggunakan madzhab, atau dengan ijtihad dan pemaknaan sendiri-sendiri.
Pemahaman tentang jihad misalnya. Menurut Kiai Wasid, tidak sedikit orang yang salah memahami tentang jihad. Seakan-akan jihad bisa dilakukan dalam kondisi dan situasi apapun, dengan banyak kepentingan. Bahkan mengorbankan dirinya sendiri.
“Padahal jihad ini sebenarnya dilakukan dalam situasi perang antara kafir dengan Islam. Itupun dengan catatan murni karena kepentingan agama, bukan kelompok. Bahkan tidak diperbolehkan berniat bunuh diri,” terangnya.
Sebagaimana diketahui bersama, jihad yang seringkali dilakukan oleh kelompok ekstrim justru menyerang negara yang sejak awal tidak pernah dzalim terhadap Islam. Cenderung mengandung unsur kepentingan kelompok di dalamnya. Juga dilakukan dengan cara bom bunuh diri.
“Jelas tidak begitu pemahaman jihad yang benar. Itulah akibat dari belajar agama tidak kepada guru yang sanad keilmuannya jelas tersambung ke Rasulullah SAW. Mereka belajar agama dadakan, dari media sosial atau guru yang sanadnya tidak jelas,” paparnya.
Kedua, dalam hal tindakan maupun gerakan harus sama dengan gerakan NU. Lantas, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) GP Ansor Jawa Timur itu menjelaskan maksud dari gerakan NU.
“Ikut dan masuklah menjadi bagian dari NU. Jangan hanya jadi tukang kritik NU. Ajak keluarga kita berproses di NU. Istri kita ajak aktif di Fatayat NU, anak di IPNU, saudara di GP Ansor, dan seterusnya,” ungkapnya.
Dengan begitu, menurut Kiai Wasid, pemahaman ke-NU-an akan lebih baik. Dalam hal tindakan dan gerakan pun akan seirama dengan apa yang diperjuangkan oleh NU.
Ketiga, amaliyah harus beramaliyah NU. Segala bentuk dan macam amaliyah di NU, menurut Kiai Wasid, jelas sanadnya, bahkan juga dalil-dalilnya. Salah satu ciri daripada amaliyah NU adalah tidak menghapus tradisi dan budaya yang mengakar kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariat Islam.
“Ya seperti di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Di Nusantara ini, khususnya di Madura, ada tradisi selamatan di setiap malam ganjil. Malam ke 21, 23, 25, dan 27. Tradisi tersebut dikenal dengan istilah mamaleman,” jelasnya.
Dijelaskan Kiai Wasid, bahwa tradisi selamatan di setiap malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sangatlah baik. Bahkan menurut Kiai Wasid ada dalilnya.
“Mengapa ada selamatan di setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, karena ada kaitannya dengan Malam Lailatul Qadar. Dimana kita diperintah untuk melakukan hal-hal baik, termasuk memperbanyak sedekah kepada sesama, saling bermaafan guna menyambut datangnya malam seribu kebaikan itu,” terangnya.
Karena itu, lanjut Kiai Wasid, masyarakat Madura mengemasnya dengan membagi-bagikan aneka macam makanan dan hidangan kepada sanak keluarga, tetangga dan kolega.
“Tradisi ini sangat baik. Dan perlu kita rawat dan pertanahankan,” pintanya.
Tentu terdapat banyak amaliah-amaliah NU lainnya yang harus dipertahankan agar menjadi warga NU yang Kaffah. Seperti tahlilan, membaca Qunut saat shalat subuh, dan sebagainya.
“Dengan begitu, kita menjadi warga NU yang Kaffah. Bukan hanya ngaku-ngaku NU, tetapi dalam hal berpikir, bertindak dan amaliahnya senafas dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama,” pungkasnya.
Editor: A. Habiburrahman