Akhir-akhir ini kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi suatu fenomena ironis di tengah kemajuan peradaban sosial masyarakat. Perempuan menjadi korban kasus KDRT seolah menjadi hal yang biasa. Belum lagi banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan dan anak, yang dalam banyak fakta akhir pelaku tidak dihukum sesuai kapasitas kejahatannya. Fakta hukum yang tidak menjadikan efek jera pada pelaku terindikasi terus melahirkan kasus-kasus serupa dari waktu ke waktu.
Salah satu yang terbaru adalah meninggalnya seorang perempuan muda di Sumenep. Sebut saja namanya EN, diduga menjadi korban KDRT oleh suaminya sendiri hingga meninggal dunia. Si suami membawa sendiri korban ke rumah sakit dengan dalih sakit akibat disengat hewan. Padahal, korban diduga baru saja dianiaya oleh pelaku (suami).
Kematian korban bahkan dikatakan tidak segera dikabarkan pada orang tua korban, seolah ingin menyembunyikan fakta yang sebenarnya tentang penyebab kematian korban. Orang tua korban justru mengetahui kabar kematian putri mereka dari tetangga pelaku. Dengan adanya kejanggalan ini orang tua korban mengupayakan agar jenazahnya diautopsi. Dari sinilah terkuak fakta luka-luka cedera di tubuh korban memang bekas penganiayaan.
Berita-berita terkait kematian korban dan penyebab yang melatarbelakanginya muncul dengan opini melemahkan posisi korban. Hampir semua pemberitaan seolah menyuarakan hal yang sama, yaitu pelaku melakukan KDRT kepada korban karena menolak diajak hubungan badan oleh pelaku (suami). Sumber informasi lainnya sebagai second opinion dari pihak keluarga korban tidak muncul sama sekali dalam berita-berita dimaksud. Berita hanya didasarkan pada satu narasumber dari kepolisian berdasarkan keterangan pelaku.
Latar belakang yang mendasari perbuatan pelaku ini melemahkan posisi korban seolah pantas diperlakukan demikian. Informasi yang berkembang juga menyebutkan bahwa pelaku sedang berada di bawah pengaruh guna-guna atau minuman keras sehingga tidak bisa mengontrol perilakunya.
Jelas bahwa berita-berita yang dirilis oleh beberapa media ini menguntungkan pihak pelaku. Dengan membangun opini yang hanya bersumber dari satu pihak dan melenceng dari fakta sesungguhnya terkait korban dan pelaku, maka posisi korban dilemahkan untuk meringankan beban hukuman pelaku. Sementara upaya untuk mendapatkan keterangan secara seimbang dari pihak keluarga korban terindikasi tidak dilakukan di waktu bersamaan. Padahal, sebagian orang yang mengenal korban dan pelaku menyebutkan bahwa pelaku memang sering melakukan KDRT pada korban sebab pelaku kecanduan judi online dan memaksa korban untuk selalu berhutang dan mencari uang untuk memodali kecanduan pelaku tersebut. Jika menolak, maka korban akan dipukul dan dianiaya secara fisik.
Maka, pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian selayaknya dijatuhi hukuman berat sesuai pasal yang berlaku. Akan tetapi, jika opini yang terbangun oleh berita-berita yang tidak berkeadilan tersebut dijadikan dasar pertimbangan hukum, maka pelaku tak akan dijerat dengan pasal yang seharusnya sesuai fakta kejadian. Dari sinilah sangat penting kiranya penulusuran atas kebenaran yang sebenarnya dari sumber yang dipercaya.
Dalam realitasnya, tidak sedikit kasus semacam ini kemudian meringankan risiko hukum pelaku. Apalagi jika kemudian pelaku dibela oleh pengacara yang tidak memiliki sense of humanism yang memadai. Memang, seseorang yang bersalah pun punya hak untuk dibela. Tetapi jika pembelaaan dilakukan untuk melemahkan korban, maka hal tersebut merupakan pendzaliman kemanusiaan pada manusia lain. Keadilan untuk perempuan seringkali dipertimbangkan untuk dipatahkan di tengah jalan. Relasi kuasa yang menganut patriarki dimana-mana turut menguatkan hal ini.
Jika hal semacam ini terus terjadi maka seterusnya akan bermunculan kasus-kasus KDRT maupun kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan dan anak dengan pola penanganan hukum serupa, yaitu melemahkan korban dengan opini publik oleh pemberitaan yang tidak faktual. Padahal, sejatinya setiap orang memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan dan rasa moral serta rasa kemanusiaan, bahkan meski hanya melalui sebuah opini.
*) Joe Mawar, aktivis dan pengamat sosial yang tinggal di Sumenep.