PEMABUK YANG MATI TADI PAGI
pada pagi yang masih perawan
maut tiba padamu
membawa cawan berisi cuka
siap disiram pada luka – dosa
yang kau tabung
di ubun-ubun
ubun-ubunmu
seketika perih, memanas
seperti ada banyak tentara
perang yang melesatkan
anak panah
dan kau hanya diam
sebab lidahmu yang
terbuka & berbusa
tidak lagi sampai
pada asma Tuhan
telingamu menunggu talkin
namun desir angin
membawa suara DJ
yang pernah membuatmu
alpa di mana arah kiblat
tubuhmu mulai kaku
di mana putih pucat
daging jidat, & genang
darah kering di sisimu
membuat kita bisa berkaca:
meski pendosa, kau tetap manusia
2022
KUBURAN
1
orang-orang menyebutnya kuburan:
tanah yang dicangkul untuk menanam
jazad
sebuah benih dengan batang panjang,
kaku, & putih
benih yang tak akan tumbuh
meski berkali-kali disirami
doa peziarah
2
jalan sempit & berbatu
menuju kuburan adalah:
jalan menuju perenungan
tempat di mana tubuh tumbuh
menjadi tulang atau
tetap utuh tak tersentuh
jelata
3
“allahummaghfirlahu…”
di antara wangi kamboja
dan nisan yang telah bernama
orang-orang terkasih
memanjatkan doa
dari bibir yang telah
lebih dulu dibasahi
rindu
DARI BALIK BAPEL EBHU
yang tak pernah kita tahu,
dari balik bapel ebhu adalah:
hasil cerita—cinta, kolaborasi
antara tepung, kompor gas
dan doa-doa paling sunyi
yang tersimpan dalam gula
arennya
seperti nyala api kecil,
berhasil melalap kecemasan
di dada perempuan yang
tangannya begitu ragib
memainkan cangkir adonan
menakar rasa—menakar asa
setiap kali aroma bapel mengudara
hatimu seakan mengembara
pada belantara sepi:
tempat meninabobokan
tawa—air mata,
serta harapan yang kau selipkan
diam-diam
dalam manis rasa bapel
ada kesepian yang tak terbaca
begitu hening—namun begitulah
caramu menulis hikayat diri
kau tahu caranya bergembira
dan menjadi manusia
yang semestinya
2022
OMBAK YANG MELAUT DI DADAMU
barangkali,
tubuhmu adalah laut
yang berhasil mengakrabi
dersik angin dan gemuruh
pun hatimu seperti pagan
diterjang ombak berkali-kali
kau tangkis—tepis
kemungkinan nasib
yang entah
atau barangkali,
kau adalah nelayan
yang mahir membaca
cuaca saat angin begitu ragib
menyentil kapalmu
: kapal yang melayarkan
doa-doamu
entah kau laut atau nelayan
tapi biru di matamu
begitu karib dengan
kesedihan
: tempat kau tenggelamkan
rahasia hidupmu
dari segala
2022
KESEPIAN YANG MELAMAR IBU
1
sejak maut melamar bapak,
kesepian dengan cepat melamar ibu
hingga pada tubuhnya musim-musim
tak lagi terbaca
seperti cuaca yang mendadak
keras di matanya
membentuk lintasan duka—doa
2
malam paling sakral bagi ibu, adalah:
ketika ia tak lagi dapat mendengarkan
suara derak ranjang
sebab kesedihan telah tercampur aduk
dengan segelas arabika
dan ibu menikmatinya sebagai
perempuan yang hatinya telah dipasung ketiadaan
3
begitulah ibu dilamar kesepian
mengikat ingatan liar masa silam
agar taringnya tak lagi mencabik dada ibu—
dada tempat ritual memanggil bapak
di surga
dengan sisa-sisa rindu
yang ia punya
Sriyatun, lahir November 1997. Saat ini sedang aktif di Kelas Puisi Bekasi. Berkerja & Mengabdi di Yayasan Uswah Toha Muntaha. Mulai menulis puisi sejak 2020. Beberapa karyanya dimuat di antologi Bersama: PIJAR SEBUAH RUANG (AE Publishing:2021), PULANG (Rizquna:2020), ANAFORA DARI GAZA (Dompet Dhuafa:2021). Juara 1 lomba cipta puisi GEMA TAURUS, 2021, Juara 2 lomba Cipta Puisi Nasional Helvy Tiana Rosa, 2021. Penulis bisa dilacak melalui Instagram: @srytn_.
Editor: Abdul Warits